Assalamu'alaikum..
Gimana newh temen" kabar'a? semoga baik" aja y,, amin..
Setelah sekian lama tak jumpa (Lebbbbayy.Red), rasa'a saya kangen juga newh ingin menambahkan 'sesuatu' yang mudah"an bermanfaat bagi agan" semua, terutama yang berhubungan dengan civitas akademika.. Langsung aja gan di cekidot:-)
Gimana newh temen" kabar'a? semoga baik" aja y,, amin..
Setelah sekian lama tak jumpa (Lebbbbayy.Red), rasa'a saya kangen juga newh ingin menambahkan 'sesuatu' yang mudah"an bermanfaat bagi agan" semua, terutama yang berhubungan dengan civitas akademika.. Langsung aja gan di cekidot:-)
'ULUMUL HADITS
Tugas ini
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti UTS dan UAS
Disusun oleh:
KELOMPOK 3
ü
AHMAD ZAENUDIN ARIF
ü
ALI MURSYID
ü
AMAR FASYNI
ü
ANDRI M. ANSOR
KELAS II A
JURUSAN BAHASA
DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB
DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG
DJATI
BANDUNG
2010-2011
KATA PENGANTAR
Segala puji kami panjatkan ke
hadirat Allah SWT yang telah membimbing manusia dengan petunjuk-petunjuk-Nya
sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, petunjuk menuju ke
jalan yang lurus dan jalan yang diridhai-Nya. Tak lupa juga kami bersyukur
kepada-Nya yang telah memudahkan penulisan makalah yang sederhana ini sehingga
dapat terselesaikan.
Shalawat dan salam semoga senantiasa
dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw., para sahabat, keluarga dan para
pengikutnya sampai di hari kiamat, terutama mereka yang memelihara keutuhan,
kemurnian, dan otentisitas sunnah baik dengan cara penghafalan, periwayatan,
penulisan, pengkodifikasian, pengamalan dan penerbitan.
Bandung, Maret 2011
Penyusun
DAFTAR ISI:
KATA
PENGANTAR...........................................................................................................
DAFTAR
ISI..........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Hadits...............................................................................................
B. Pembagian Ilmu Hadits..............................................................................................
C. Cabang-cabang Ilmu Hadits.......................................................................................
BAB III
PENUTUP...............................................................................................................
RESUME................................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................................
|
i
ii
1
2
3
9
23
24
25
|
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu hadits adalah ilmu yang membicarakan
tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Adapun perawi
yaitu orang-orang yang membawa, menerima dan menyampaikan berita dari Nabi
yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadits. Bagaimana sifat-sifat mereka,
apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau tidak, bagaimana sifat
kejujuran dan keadilan mereka dan bagaimana daya ingat mereka apakah sangat
kuat atau lemah. Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwi) terkadang guru-guru
perawi yang membawa berita dalam sanad suatu hadits atau isi berita (matan)
yang diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika dibandingkan dengan sanad
atau matan perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui hal tersebut
dapat diketahui apakah hadits itu shahih atau tidak shahih (dhaif). Ilmu yang
berbicara tentang hal tersebut disebut ilmu hadits.
Untuk lebih jelasnya, kami
akan memaparkan secara rinci pada bab berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Hadits
Dari segi bahasa ilmu hadits terdiri dari dua
kata yakni ilmu dan hadits. Secara sederhana, ilmu artinya pengetahuan yang
sistematis, knowledge, dan science, sedangkan hadits artinya sebagai berikut:
مَاجَاءَ عَنٍ النَّبِيِّ صَلىَّ الله عَلَيْهِ
وَسَلَْمَ : سَوَاءٌ كَانَ قََوْلاً اَوْ فِعْلاً اَوْ تَقْرِيْرًا
Artinya:
“Sesuatu
yang datang dari Nabi saw baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau
persetujuan.”
Adapun
definisi ilmu hadits itu sendiri, para ahli hadits banyak yang memberikan
definisi ilmu hadits diantaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagai berikut:
هُوَ مَعْرِفَة ُالْقَوَاعِدِ الَّتِىْ
يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى مَعْرِفَةِ الرَّاوِيّ وَالْمَرْوِيِّ
Artinya:
“Adalah mengetahui kaidah-kaidah yang
dijadikan sambungan untuk mengetahui (keadaan) perawi dan yang diriwayatkan.”
Atau definisi yang lebih ringkas:
اَلْقَوَاعِد اْلمُعَرِّفَة ُبِحَالِ الرَّاوِيُّ
وَاْلمَرْوِيِّ
Artinya:
“Kaidah-kaidah yang
mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkan.”
Dari berbagai definisi di
atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang
membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.
Adapun perawi yaitu orang-orang yang membawa, menerima dan menyampaikan berita
dari Nabi yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadits. Bagaimana sifat-sifat
mereka, apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau tidak, bagaimana
sifat kejujuran dan keadilan mereka dan bagaimana daya ingat mereka apakah
sangat kuat atau lemah. Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwi) terkadang
guru-guru perawi yang membawa berita dalam sanad suatu hadits atau isi berita
(matan) yang diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika dibandingkan dengan
sanad atau matan perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui hal
tersebut dapat diketahui apakah hadits itu shahih atau tidak shahih (dhaif).
Ilmu yang berbicara tentang hal tersebut disebut ilmu hadits.
B. Pembagian Ilmu Hadits
Kemudian ilmu hadits ini terbagi menjadi dua macam, yaitu Ilmu
hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Penjelasannya sebagai berikut:
1. Ilmu Hadits Riwayah
Menurut
bahasa, riwayah dari akar kata روى – يروى – رواية yang berarti an-naql = memindahkan dan
penukilan, adz-dzikr = penyebutan, dan al-fatl = pemintalan. Seolah-olah dapat dikatakan periwayatan adalah memindahkan berita atau menyebutkan berita
dari orang tertentu kepada orang lain dengan dipertimbangkan/ dipintal
kebenarannya. Dalam bahasa Indonesia sering disebut riwayat dalam arti
memindahkan berita dari sumber berita kepada orang lain. Atau “memindahkan
sunnah dan sesamanya dan menyandarkannya kepada orang yang membawa berita atau yang menyampaikan sunnah tersebut atau yang lainnya.”
Secara
istilah, ilmu hadits Riwayah, menurut pendapat Dr. Shubhi Ash-Shalih adalah
sebagai berikut:
عِلْمُ الْحَدِيْثِ رِوَايَة ًيَقُوْمُ عَلَىْ
النَّقْلِ الْمُحَرَّرِ الدَّقِيْقِ لِكُلِّ مَا اُضِيْفَ اِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَََََوْلِ اَوْ فِعْلِ اَوْ تَقْرِيْرِ اَوْ
صِفَةٍ وَلِكُلِّ مَا اُضِيْفَ اِلَى الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ
Artinya:
“Ilmu
Hadits Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti
dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik
berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan maupun sifat serta segala sesuatu
yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.”
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلىَ اَقْوَالِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا
وَتَحْرِيْرِ اَلْفَاظِهَا
Artinya:
“Ilmu
yang mempelajari tentang segala perkataan kepada Nabi saw, segala perbuatan
beliau, periwayatannya, batasan-batasannya dan ketelitian segala redaksinya.”
Kedua
definisi di atas memberi konotasi makna yang sama yakni objek pembahasannya
adalah perkataan Nabi atau perbuatannya dalam bentuk periwayatan tidak semata-mata
datang sendiri. Di sini berarti fokusnya pada matan atau isi berita hadits yang
disandarkan kepada Nabi saw. atau juga disandarkan kepada sahabat dan tabi’in
menurut definisi yang pertama. Oleh karena itu, ilmu ini disebut ilmu riwayah
karena semata-mata hanya meriwayatkan apa yang disandarkan kepada Nabi saw.
Objek
pembahasan ilmu ini adalah diri Nabi (dzatiyat ar-rasul) baik dari segi
perkataan, perbuatan, maupun persetujuan beliau dan bahkan sifat-sifat beliau
yang diriwayatkan secara teliti dan berhati-hati, tanpa membicarakan nilai
shaih atau tidaknya. Periwayatan hadits dari Nabi atau dapat dikatakan dari
fokus pembicaraan hanya pada periwayatan yang menyangkut diri Nabi dari segala
aspek tersebut. Tentunya kata periwayatan menyangkut siapa yang menjadi perawi
(rawi) dari siapa ia meriwayatkan suatu berita (marwi ‘anhu) dan apa isi berita
yang diriwayatkan (marwi). Dengan demikian ilmu hadits riwayah mempelajari
periwayatan yang mengakumulasi apa, siapa dan dari siapa berita itu
diriwayatkan tanpa mempersyaratkan shahih atau tidaknya suatu periwayatan. Ilmu
yang membahas diterima atau tidaknya suatu periwayatan, shahih atau tidaknya
suatu periwayatan bukan bagian Ilmu Hadits Riwayah.
Fokus
pembahasan Ilmu Hadits Riwayah atau penekanan pembahasannya memang matan yang
diriwayatkan itu sendiri, karena memang perkataan danperbuatan Rasul itu adanya
pada matan. Namun, matan ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa ada
sanadnya, bahkan sebagian ulama megatakan bahwa rukun hadits itu teridiri dari
sanad dan matan. Jika ada redaksi matan saja tanpa diserstai sanad bukan
dinamakan hadits, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian pekembangan Ilmu
Hadits Riwayah tidak bisa lepas dari Ilmu Hadits Riwayah.
Pendiri
Ilmu Hadits Riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w. 124 H) yakni orang
pertama melakukan penghimpunan Ilmu Hadits Riwayah secara formal berdasarkan
intruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sedang kegunaan dan manfaat mempelajari
Ilmu Hadits Riwayah di antaranya adalah:
1. Memelihara hadits secar hati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan
dalam periwayatan.
2. Memelihara kemurnian Syari’ah Islamiyah karena sunnah atau hadits adalah
sumber hukum Islam seteleah Al-Qur’an.
3. Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat Islam sehingga sunnah dapat
diterima oleh seluruh umat manusia.
4. Mengikuti dan meneladani akhlak nabi saw. karena tingkah laku dan akhlak
beliau secara terperinci dimuat dalam hadits.
5. Melaksanakan hukum-hukum Islam serta memelihara etika-etikanya, karena
seseorang tidak mungkin mampu memelihara hadits sebagai sumber syari’at islam
tanpa mempelajari Ilmu Hadits Riwayah ini.
2. Ilmu Hadits Dirayah
Menurut
bahasa, kata Dirayah berasal dari kata درا – يدرى – دراية = pengetahuan, jadi yang dibahas aaalah dari
segi pengetahuannya yakni pengetahuan tentang hadits atau pengantar ilmu
hadits.
Sedangkan
menurut istilah, Ilmu Hadits Dirayah adalah sebagai berikut:
عِلْمٌ يُعْرَفُ مِنْهُ حَقِيْقَةُ الرِّوَايَةِ
وَشُرُوْطُهَا وَاَنْوَاعُهَا وَاَحْكَامُهَا وَحَالُ الرُّوَاةِ وَشُرُوْطُهُمْ
وَاَصْناَفُ الْمَرْوِيَّاتِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا
Artinya:
“Ilmu
yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya,
dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam,
periwayatan dan hal-hal; yang berkaitan dengannya.”
Untuk memperjelas definisi di atas perlu dikemukakan
secara terperinci.
1. Maksud hakikat periwayatan pada definisi di atas memindahkan berita dalam
sunnah atau sesamanya dan menyandarkannya kepada orang yang membawa berita atau
yang menyampaikan berita tersebut atau kepada yang lainnya.
2. Syarat-syarat periwayatan maksudnya kondisi perawi ketika menerima (tahammul)
periwayatan hadits, apakah menggunakan metode as-sama’ (murid mendengar
penyampaian guru), al-qira’ah (murid membaca guru mendengar), al-ijazah (guru
memberi izin murid untuk meriwayatkan haditsnya) dan lain-lain.
3. Macam-macamnya yakni macam-macam periwayatan apakah
bertemu langsung (sanad muttashil) atau terpurtus (inqitha’).
4. Hukum-hukumnya, diterima (maqbul) atau dtolak (mardud).
5. Keadaan para perawi, seorang perawi ketika menerima (tahammul) dan
menyampaikan (ada’) hadits, adil atau tidak, di mana tempat tinggal, lahir dan
wafatnya. Sedang kondisi marwi maksudnya hal-hal yang berkaitan dengan
persyaratan periwayatan ketika tahammul (menerima hadits) dan ada’ (menyampaikan
periwayatan), persambungan sanad dan tidaknya dan lain-lain. Demikian juga
berita yang diriwayatkan itu apakah rasional atau tidak, bertentangan dengan
Al-Qur’an atau tidak dan seterusnya.
6. Macam-macam periwayatan, artinya hadits atau atsar macam-macam bentuk
pembukuannya apakah Musnad, Mu’jam, Ajza’ dan lain-lain.
7. Hal-hal yang berkaitan dengannya, mengetahui istilah-istilah ahli hadits.
Wilayah Ilmu Hadits Dirayah adalah penelitian sanad
dan matan, periwayatan, yang meriwayatkan dan yang diriwayatkan, bagaimana
kondisi dan sifat-sifatnya diterima atau ditolak, shahih dari Rasul atau
dha’if. Dengan demikian Ilmu Hadits Dirayah berbeda dengan Ilmu Hadits Riwayah.
Ilmu Hadits Riwayah fokusnya hanya mempelajari periwayatan (riwayah) segala
perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw. tanpa mempelajari shahih atau tidaknya
suatu hadits baik yang disandarkan kepada Nabi
(marfu’) atau disandarkan pada sahabat (mawquf) dan atau disandarkan
kepda tabi’in (maqthu’). Tujuannya untuk mengingat-ingat dan memelihara hadits
Nabi tersebut yang dijadikan salah satu sumber hukum Islam. Sedang Ilmu Hadits Dirayah
Fokusnya pada pengetahuan (dirayah) hadits baik dari segi keadaan sanad dan
matan, apakah telah memenuhi persyaratan sebagai hadits yang diterima atau
tertolak, seperti perkembangan pengkodifikasiannya pada masa abad ketiga
hijriah. Pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin
Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H).
Ilmu
Hadits Dirayah mempunyai nama-nama lain, seperti ‘Ulum Al-Hadits, Ushul
Al-Hadits, Ushul Ar-Riwayah dan Mushthalah Al-Hadits. Masing-masing nama
tersebut mempunyai filsafat makna yang berdekatan antara satu dengan yang lain.
Ilmu Hadits Dirayah artinya secara sederhana pengetahuan (dirayah) tentang
hadits baik berkaitan dengan sanad maupun matan. Ulumul Hadits, ‘ulum bentuk plural
dari ilmu berarti mencakup beberapa ilmu hadits yang semula berserakan, seperti
ilmu tentang biografi tokoh-tokoh hadits (‘Ilmu Rijal Al-Hadits), adalah ilmu
yang membahas tentang hal ihwal dan
sejarah para rawi dari kalangan sahabat, tabi’in dan atba’al-tabi’in. Ilmu
tentang biografi Periwayat Hadits (‘Ilmu Gharib Al-Hadits) adalah ilmu yang
menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan Hadits yang sukar diketahui
maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum, dan lain-lain. Ushul Al-Hadits atau
Ushul Ar-Riwayah kaidah-kaidah yang dijadikan parameter dalam menilai hadits
diterima atau tidak suatu periwayatan hadits. Mushthalah Al-Hadits, berbicara
tentang istilah-istilah yang disepakati ahli hadits atau pengertiannya adalah
ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-istilah ahli hadits dan yang
dikenal antara mereka, sehingga menjadi populer di tengah-tengah mereka,
misalnya, sanad, matan, mukharrij, mutawatir ahad, shahih dha’if dan lain-lain.
Tujuannya, memudahkan para pengkaji dan peneliti hadits dalam mempelajari dan
riset hadits, karena para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan
kegiatannya dengan mudah tanpa mengtahui istilah-istilah yang telah disepakati
oleh para ulama. Dan pembahasan lebih dalam akan dilanjutkan pada bagian
cabang-cabang ilmu yang akan di bahas pada bab selanjutnya.
Adapun
untuk memperjelas perbedaan kedua ilmu hadits tersebut, berikut adalah gambaran
perbedaan kedua ilmu hadits tersebut.
RINGKASAN PERBEDAAN ANTARA
ILMU HADITS RIWAYAH DAN ILMU HADITS DIRAYAH
Tinjauan
|
Ilmu Hadits Riwayah
|
Ilmu Hadits Dirayah
|
Objek pembahasan
|
Segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.
|
Hakikat, sifat-sifat dan kaidah-kaidah dalam
periwayatan
|
Pendiri
|
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w. 124 H)
|
Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad
Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H)
|
Tujuan
|
Memelihara syari’ah Islam dan otentisitas Sunnah
|
Meneliti hadits berdasarkan kaidah-kaidah atau
persyaratan dalam periwayatan.
|
Faedah
|
Menjauhi kesalahan dalam periwayatan
|
Mengetahui periwayatan yang diterima (maqbul) dan yang
tertolak (mardud)
|
Sekalipun
berbeda antara Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah, namun keduanya
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara ilmu
hadits riwayah dan dirayah atau antara hadits dan ilmu hadits merupakan satu
sistem yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya (syay’an
nutalaziman). Seperti halnya hubungan antara ilmu tafsir dengan tafsir, ushul
fikih dan sebagainya.lahirnya Ilmu Hadits Riwayah tidak lepas dari peran ilmu
hadits Dirayah baik secara implisit maupun eksplisit. Di antara perannya adalah
meriwayatkan, menghimpun, menelusuri, menfilter dan mengklasifikasikan kepada
berbagai tingkatan dan aneka macam, mana hadits dan mana yang bukan hadits,
mana sabda Nabi dan mana perkataan atau fatwa sahabat, mana hadits yang
diterima (maqbul) dan mana hadits yang tertolak (mardud). Sedang Ilmu Hadits Riwayah
sebagai produknya yang telah matang dari proses penelusuran tersebut, atau
dalam kalimat lain Ilmu Hadits Dirayah sebagai input, sedangkan Ilmu Hadits Riwayah
bagaikan output-nya. Oleh karena itu, tidak ada faedahnya Ilmu Hadits Riwayah saja
tanpa disertai Ilmu Hadits Dirayah.
C. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Banyak
sekali jumlah cabang Ilmu Hadits, para ulama menghitungnya secara beragam. Ibnu
Ash-Shalah menghitungnya 65 cabang, bahkan ada yang menghitung hanya 10 hingga
6 cabang tergantung kepentingan penghitung itu sendiri, ada yang menghitungnya
secara terperinci dan ada pula yang menghitungnya secara global saja. Jika
dihitung 6 cabang adalah Ilmu tarikh Ar-Ruwah, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu
Gharib Al-Hadits, Ilmu Mukhtalif Al-Hadits wa Musykilatuh, Ilmu Nasikh Mansukh dan
Ilmu ‘Ilal Al-Hadits.adapun yang dijelaskan penulis pada makalah ini adalah 10
cabang Ilmu Hadits, yang terpenting baik dilihat dari segi sanad atau matan dapat
dibagi menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut.
1. Ilmu Rijal Al-Hadits
Ilmu
Rijal Al-Hadits dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Tarikh Ar-Ruwah dan Ilmu Al-Jarh
wa Al-Ta’dil. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Ilmu tarikh Ar-Ruwah adalah:
هُوَ التَّعْرِيْفُ بِالْوَقْتِ الَّذِىْ
تَصْبَطُ بِاْلاَحْوَالِ مِنَ الْمَوَالِيْدِ وَالْوَفَيَاتِ وَالْوَقَائِعِ
وَغَيْرِهَا
Artinya:
“Ilmu
yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran, wafat,
peristiwa/kejadian dan lain-lain.”
علم يبحث فيه عن احوال الرواة وسيرهم من الصحابة
والتابعين وتابع التابعين
Artinya:
“Ilmu
yang membahas tentang para perawi dan biografinya dari kalangan sahabat,
tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.”
Jadi,
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan para perawi
hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan kewafatan mereka, siapa
guru-gurunya atau dari siapa mereka menerima sunnah dan siapa murid-muridnya
atau kepada siapa mereka menyampaikan periwayatan hadits, baik dari kalangan
para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in.
Materi
dari ilmu tersebut adalah:
a. Konsep tentang rawi dan thabaqah
b. Rincian thabaqah
c. Biografi dari rawi yang telah tebagi pada tiap thabaqah.
Rawi
adalah yang menerima, memelihara dan menyampaikan kepada orang lain dengan
menyebutkan sumber penderitaannya. Derajat dan kedudukan para sahabat
berbeda-beda, karena perbedaan ilmu dan keadaan masing-masing. Ada yang ahli
dalam Al-Qur’an, hadits, fikih, ada yang dekat dengan Nabi saw. dan lain-lain.
Yang
diperdebatkan oleh para Muhadditsin adalah tentang keadilan sahabat dalam
periwayatan hadits. Jumhur ulama berpendapat bahwa seluruh sahabat adalah adil,
termasuk yang terlibat fitnah pembunuhan. Mu’tazilah berpendapat bahwa seluruh
sahabat itu adil yang selain terlibat pembunuhan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Tujuan
ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (muttashil) atau tidak sanad suatu
hadits. Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi
berita itu bertemu langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak
atau hanya pengakuan saja. Semua itu dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttashil-nya
sanad ini nanti dijadikan salah satu syarat keshahihian suatu hadits dari segi sanad.
Pertama
kali orang yang sibuk memperkenalkan ilmu ini secara ringkas adalah Al-Bukhari (w.
256 H) kemudian Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H) dalam Thabaqat-nya. Kemudian
berikutnya Izzudin bin Al-Atsir (w. 630 H) menulis Usud Al-Ghabah fi Asma
Ash-Shahabah, Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) yang menulis Al-Ishabah fi
Tamyiz Ash-Shahabah kemudian diringkas oleh As-Suyuthi (w. 911 H) dalam bukunya
yang bernama ‘Ayn Al-Ishabah. Al-Wafayat karya Ibnu Zabir Muhammad bin Abdullah
Ar-Rubi (w. 379 H).
2. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Dr.
Subhi Ash-Shalih memberikan definisi ‘Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu sebagai
berikut:
وَهُوَ عِلْمٌ يَبْحَثُ عَنِ الرُّوَاةِ مِنْ
حَيْثُ مَا وَرَدَ فِي شَأْنِهِمْ مِمَّا يُشِيْنُهُمْ اَوْ يُزَكِّيْهِمْ بِأَلْفَاظٍ
مَخْصُوْصَةٍ
Artinya:
“Ilmu
yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan
mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunakan
kata-kata khusus.”
Jadi
ilmu ini membahas tentang nilai cacat (al-jarh) atau adilnya (at-ta’dil)
seorang perawi dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki
hirarki tertentu. Misalnya penilaian seseroang أثبت الناس = orang yang paling kuat
dalam periwayatan, ثِقَةُ ثِقَةُ = terpercaya-terpercaya,
ثقة, حُجَّةٌ حَافِظٌ = dapat dijadikan
hujjah, terpercaya, seorang hafidz dan seterusnya atau sebaliknya. Nilai kadar
cacat atau keadilan seorang perawi dituangkan dalam berbagai buku Al-Jarh wa
At-Ta’dil berdasarkan hasil observasi dan pengamatan penelitian seseorang yang
telah tahu persis tentang persoalan ini yang didasarkan pada fakta dan data
yang akurat.
Adapun
pengertian ta’dil yaitu menganggap adil seorang rawi, yakni memuji rawi dengan
sifat-sifat yang membawa maqbulnya riwayat. Sedangkan Al-Jarh atau Tarjih artinya
mencatatkan, yakni menuturkan sebab-sebab keaiban rawi. Perbuatan Tarjih termasuk
mengumpat yang dibolehkan oleh agama, sebab untuk keperluan agama dan tidak
melampaui batas kemanusiaan.
Tarjih
rawi berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Bid’ah, yakni mempunyai i’stikad berlawanan dengan dasar syari’at. Orang
tersebut digolongkan kafir, seperti golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa
Tuhan menyatu dengan ‘Ali dan imam-imam lain dan mempercayai bahwa ‘Ali akan
kembali ke dunia sebelum kiamat.
b. Mukhalafah, yakni perlawnan sifat ‘adil dan dhabith seorang rawi dengan
rawi yang lain yang lebih kuat yang tidak dapat dijama’kan atau dikompromikan.
c. Ghalath, yakni kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik
sedikit maupun banyak kesalahan yang dilakukan.
d. Jahalah Al-Hal, yakni tidak diketahui identitasnya.
e. Da’wa Al-Inqitha’, yakni mendakwa terputusnya sanad.
Kaidah
Tarjih dan Ta’dil ada dua macam:
a. Naqd Khariji, yaitu kritik eksternal, yakni tentang cara dan sahnya riwayat
dan tentang kapasitas rawi.
b. Naqd Dakhili, yaitu kritik internal, yakni tentang makna hadits dan syarat
keshahihannya.
Dari
tarjih atau ta’dil yang menghasilkan jarihnya seorang rawi, sebaiknya masih
harus diteliti berulang-ulang, agar tidak menimbulkan kegoncangan, sebab
mungkin saja ada kelemahan dalam kondisi jarih atau sebab jarhnya, atau
tarjihnya terlalu keras (tasaddud).
Tujuan
ilmu ini untuk mengetahui sifat atau niai keadilan, kecacatan dan atau ke-dhabith-an
(kekuatan daya ingat) seorang perawi hadits. Jika sifatnya adil dan dhabit maka
haditsnya dapat diterima sebagai hadits yang shahih dan jika cacat tidak ada
keadilan dan ke-dhabith-an maka haditsnya tertolak.
Ibnu
Adi (w. 365 H) dalam mukadimah Al-Kamil
menjelaskan nilai keadilan para ahli hadits sejak masa sahabat. Di antara
sahabat yang menyebutkan sifat dan keadaan para perawi hadits adalah Ibnu
Abbas, Ubadah bin Shamit dan Anas bin Malik. Dan dia antara tabbi’in adalah Asy-Sya’bi,
Ibnu sirin dan Sa’ad bin AlMusayyab, sedikit sekali di antara mereka yang
digolongkan cacat (tajrih) dalam keadilan. Pada abad kedua Hijriah, mulailah
terdapat para perawi yang dha’if. Pada masa akhir tabi’in yaitu sekitar pada
tahun 150 H, bangkitlah para ulama untuk mengungkap para perawi yang adil (ta’dil)
dan yang ccat (tajrih), di antara mereka adalah Yahya bin Sa’id Al-Qathan dan Abdurrahman
Al-Mahdi.
Di
antara kitab yang berbicara tentang ilmu ini adalah Thabaqat Ibn Sa’ad Az-Zuhri
Al-bashri (w. 230 H) terdiri dari 15 jilid, Tawarikh Tsalatsah dan At-Tarikh
Al-Kabir oleh Al-Bukhari (w. 256 H), Tarikh ditulis oleh Ali Al-Madini (w. 234
H), Al-Jarh wa Al-Ta’dil karya Ibnu Hatim, Ats-Tsiqat karya Ibnu Hibban,
Al-Kamil fi Ad-Dhuafa’ karya Ibnu Adi, Al-Kamil fi Asma’ Ar-Rijal karya Abdul
Ghani Al-Maqdisi. Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi, Tahdzib At-Tahdzib karya Ibnu
Hajar Al-Asqalani, dan lain-lain.
3. ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Secara
bahasa, al-‘illah diartikan al-maradh = penyakit.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadits, ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits adalah:
سَبَبٌ خَفِيٌّ يَقْدَحُ فِى الْحَدِيْثِ مَعَ
ظُهُوْرِ السَّلاَمَةِ مِنْهُ
Artinya:
“Suatu
sebab tersembunyi yang membuat cacat pada hadits sementara lahirnya tidak
nampak adanya cacat tersebut.”
علم يبحث فيه عن اسباب غامضة حفية قاضحة صحة
الحديث
Artinya:
“Ilmu
yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat
mencacatkan hadits.”
Jelasnya
ilmu ini membahsa tentang ‘illat yang berupa memutashilkan yangn munqathi’,
merafa’kan yang mauquf, memasukan suatu hadits ke dalam kadits yang lain.
‘Illat
terjadi pada sanad dan terjadi pula pada matan, yakni:
a. Lahirnya sanad shahih padahakl terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri
dari gurunya.
b. Hadits mursal dimusnadkan lahirnya.
c. Hadits mahfudz dari tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda
tempat tinggalnya.
d. Hadits mahfudz dari sahabat tertentu duruwayatkan dengan paham tabi’in.
e. Meriwayatkan dengan ‘an’anah suatu hadits yang sanad-nya gugur seorang rawi
atau beberapa orang.
f. Berlainan sanad-nya dengan sanad yang lebih kuat.
g. Berlainan nama gurunya yang memberikan hadits dengan nama guru rawi-rawi
tsiqat, atau nama guru tidak disebutkan dengan jelas.
h. Meriwayatkan hadits yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun
gurunya itu benar-benar guru yang pernah memberikan beberapa hadits padanya.
i.
Meriwatkan hadits dengan sanad yang lain,
secara paham terhadap hadits sebenarnya, hanya mempunyai satu sanad.
j.
Memauqufkan hadits yang marfu’.
‘Ilmu
‘Ilal Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar yang
membuat kecacatan keshahihan hadits, seperti me-washal-kan hadits yang munqathu’
dan me-marfu’-kan hadits yang mawquf, memasukkan suatu hadits ke hadits yang
lain. Ilmu ini adalah salah satu dari Ulum Al-Hadits yang paling utama, karena ‘Ilal
Al-Hadits ini tidak dapat terungkap kecuali oleh apra ulama yang memiliki
keilmuan yang sempurna tentang tingkatan para perawi dan memiliki indra yang
kuat tentnang matan dn sanad. Ilmu ini juga membahas lafadz yang musykil dan
susunan kalimat yang sukar dipahami.
Tujuan
mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui siapa di antara periwayat hadits
yang terdapat illat dalam periwayatannya, dalam bentuk apa dan di mana ‘illat
tersebut terjadi, dan pada sanad atau pada matan juga untuk menghindarkan
penafsiran menduga-duga.
Yang
mula-mula mengusahakan pengumpulan lafaddz yang gharib adalah Abu ‘Ubaidah
Ma’mar ibn Al-Mutsanna (210 H) dan Abu Al-Hasan Al-Manini (240 H). Tiga kitab
gharib Al-Hadits di abad III H adalah susunan Abu ‘Ubaid Al-Qasim Ibn Sallam
(224 H), Ibn Qutaibah Al-Dainuri (276 H) dan Al-Khaththabi (378 H). Kitab
lainnya setelah itu adalah kitab Gharib Al-Qur’an dan Al-Hadits susunan Al-Harawi
(401 H) dan Al-Faiq susunan Al-Zamakhsari. Adapun kitab terbesar adalah Al-Nihayah
susunan Ibn Al-Atsir (606 H) yang diikhtisarkan oleh Al-Suyuthi (911 H) dalam kitab
al-Durr Al-Natsir.
Di
antara ulama yang konsen dalam ilmu ini adalah Ibnu Al-Madini (w. 234 H) dalam
bukunya Al’Ilal, Ibnu Abib Hatim (w. 375 H) dengan karyanya ‘Ilal Al-Hadits,
Ad-Daruquthni (w. 375 H) dengan karyanya Al-‘Ilal Al-Waridah fi Al-Ahadits,
Ahmad bin hanbal dengan karyanya Al-‘Ilal wa Ma’rifat Ar-Rijal, At-Tirmidzi dengan
karyanya Al-‘Ilal Al-Kabir dan Al-‘Ilal Ash-Shaghir, penulis lain adalah Muslim
(261 H) dan Muhammad Ibnu Abdullah Al-Hakim.
4. ‘Ilmu Gharib Al-Hadits
‘Ilmu
Gharib
Al-Hadits adalah:
هو ما وقع في متن الحديث من لفظة غامضة بعيدة من
الفهم لقلة استعمالها
Artinya:
“Adalah
ilmu yang mempelajari makna matan hadits dari lafal yang sulit dan asing bagi
kebanyakan manusia, karena tidak umum dipakai orang Arab.”
علم يعرف به معنى ما وقع في متون الاحاديث من
الالفاظ الغربية عن اذهاب الذين بعد عهدهم بالعربية الخالصة
Artinya:
“Ilmu
yang menerangkan makna kalimat yan terdapat dalam matan hadits yang sukar
diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.”
علم يعرف به ما وقع في متون الاحاجيث من الالفاظ
الغامضة البعيدة عن الفهم لقلة استعمالها
Artinya:
“Ilmu
untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matanhadits yang sulit dan sukar dipahami
karena jarang sekali digunakan.”
Misalnya,
hadits tentang shalat: Shalatlah berdiri dan barang siapa yang tidak mampu
berdiri hendaklah duduk dan jika tidak mampu duduk, hendaklah tiduran di atas
lambung. Tidur di atas lambung termasuk gharib karena masih sulit atau kurang
jelas dipahami. Maksud hadits shalat di atas lambung apakah lambung yang
sebelah kanan atau yang sebelah kiri. Kemudian dijelaskan dengan perkataan Ali maka
atas lambung kanan.
Tujuan
ilmu ini adalah untuk mengetahui mana kata-kata dalam hadits yang tergolong gharib
dan bagaimana metode para ulama memberikan interpretasi kalimat gharib dalam
kalimat hadits tersebut. Apakah melalui perbandingan beberapa sanad dalam
hadits yang sama atau melalui jalan lain.
Upaya
para ulama muhadditsin untuk menafsirkan keghariban matan hadits antara lain:
a. Mencari dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan
gharib.
b. Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadits atau sahabat
lain yang tidak meriwayatkan.
c. Memperhatikan penjelasan dari rawi selain sahabat.
Yang
mula-mula mengusahakan pengumpulan lafadz yang gharib adalah Abu ‘Ubaidah
Ma’mar ibn Al-Mutsanna (210 H) dan Abu Al-Hasan Al-Manini (240 H). Tiga kitab
gharib Al-Hadits di abad III H adalah susunan Abu ‘Ubaid Al-Qasim Ibn Sallam
(224 H), Ibn Qutaibah Al-Dainuri (276 H) dan Al-Khaththabi (378 H). Kitab
lainnya setelah itu adalah kitab Gharib Al-Qur’an dan Al-Hadits susunan Al-Harawi
(401 H) dan Al-Faiq susunan Al-Zamakhsari. Adapun kitab terbesar adalah Al-Nihayah
susunan Ibn Al-Atsir (606 H) yang diikhtisarkan oleh Al-Suyuthi (911 H) dalam kitab
al-Durr Al-Natsir.
Di
antara ulama yang konsen dalam ilmu ini adalah Ibnu Al-Madini (w. 234 H) dalam
bukunya Al’Ilal, Ibnu Abib Hatim (w. 375 H) dengan karyanya ‘Ilal Al-Hadits,
Ad-Daruquthni (w. 375 H) dengan karyanya Al-‘Ilal Al-Waridah fi Al-Ahadits,
Ahmad bin hanbal dengan karyanya Al-‘Ilal wa Ma’rifat Ar-Rijal, At-Tirmidzi dengan
karyanya Al-‘Ilal Al-Kabir dan Al-‘Ilal Ash-Shaghir dan lain-lain.
5. ‘Ilmu Muhtalif Al-Hadits
Dr. Mahmud Ath-Thahan
menjelaskan secara sederhana, bahwa ‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah:
هو الحديث المقبول المعارض بمثل مع امكان الجمع بينها
Artinya:
“Hadits makbul kontradiksi
dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.”
علم يبحث فيه التوفيق بين الاحاديث المتنا فضة ظاهرا
Artinya:
“Ilmu yang membahas
tentang cara mengumpulakan hadits-hadits yang berlawanan lahirnya.”
‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah
ilmu yang membahas hadits-hadits yang lahirnya terjadi kontradiksi akan tetapi
dapat dikompromikan, baik dengan cara di-taqyid (pembatasan) yang mutlak, takhshish
al-‘am (pengkhususan yang umum) atau dengan yang lain. Ilmu ini juga disebut ‘Ilmu
Talfiq Al-Hadits. Misalnya penulisan hadits pada masa awal perkembangan Islam,
ada hadits yang melarang penulisan hadits dan ada pula hadits yang berisi
perintah menulis hadits dan lain sebagainya. Jika terjadi seperti di atas, maka
langkah penyelesaiannya dikompromikan (al-jam’u wa at-tawfiq) yaitu dengan cara
takhhsish al-‘amm (mengkhususkan yang umum), mentaqyidkan hadits yang mutlak, nasikh
mansukh, dan lain-lain.
Tujuan ilmu ini mengetahui
hadits mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagaimana pemecahannya
atau langkah-langkah apa syang dilakukan para ulama dalam menyikapi
hadits-hadits yang kontra tersebut.
Pertama kali yang menulis ‘Ilmu
Mukhtalif Al-Hadits ini adalah Asy-Syafi’i (w. 204 H) dengan karyanya Ikhtilaf
Al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w. 276 H) dengan karyanya Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits,
Ath-Thahawi dengan karyanya Musykil Al-Atsar, dan lain-lain.
6. ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh
Menurut
ulama ushul fikih, nasakh adalah:
رفع الشارع حكما شرعيا بدليل شرعي متراخ عنه
Artinya:
“Pembatalan
hukum syara’ oleh syar’i (pembuat syari’at) dengan dalil syara’ yang datang
kemudian.”
‘Ilmu
Nasikh wa Mansukh menurut ahli hadits adalah:
علم يبحث فيه عن الناسخ والمنسوخ من الاحاديث
Artinya:
“Ilmu
yang membahas tentang hadits-hadits yang menasakh dan yang dinasakh.”
‘Ilmu
Nasikh wa Mansukh membahas hadits-hadits yang kontradiktif yang tidak mungkin
dikompromikan, maka salah satunya yang datangnya belakangan sebagai nasikh dan
yang lain datangnya duluan sebagai mansukh. Misalnya transaksi nikah (mut’ah)
pernah diperbolehkan dalam suatu pertempuran berbulan-bulan, kemudian
belakangan dilarang Rasulullah saw. Demikian juga masalah ziarah kubur dan
membekam. Atau kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain juga berupa
cara mengetahui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah saw. sendiri,
keterangan sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.
Ilmu
ini bermanfaat untuk pengamalan hadits bila ada dua hadits maqbul yang tanaqud
yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya
sampai pada tingkat Mukhtalif Al-Hadits, kedua hadits maqbul tersebut dapat diamalkan.
Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan), maka hadits maqbul yang tanaqud tadi
ditarjih atau dinasakh. Bila diketahui mana di antara kedua hadits yang
diwurudkan duluan dan yang diwurudkan kemudian, maka yang diwurud kemudian
(terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang
belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh.
Tujuan
mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui salah satu proses hukum yang
dihasilkan dari Hadi dalam bentuk Nasikh Mansukh dan mengapa terjadi Nasikh
Mansukh.
Pertama
kali yang menulis Nasikh Al-Hadits wa Mansukh adalah Ahmad bin Ishak Ad-Dinari (w.
318 H), Muhammad bin bahr Ash-Ashbahani (w. 322 H), Hibatullah bin Salamah (w.
410 H), Muhammad bin Musa Al-hazimi (w. 584 H), dan Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H).
Buku-buku Nasikh Mansukh yang tenar antara lain; Al-I’tibar fi An-Naskh wa
Al-Mansukh min Al-Atsar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi, An-Nasikh
wa Al-Mansukh karya Imam Ahmad, dan Tajrid Al-Ahadits Al-Mansukhah karya Ibnu
Al-Jauzi.
7. ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat
‘Ilmu
Fann Al-Mubhamat adalah:
علم يعرف به المبهم الذي وقع في المتن او في
السند
Artinya:
“Ilmu
untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut namanya di dalam matan
adau di dalam sanad.”
Misalnya dalam hadits
banyak didapatkan hanya disebutkan seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
saw. demikian juga dalam sanad disebutkan dari seorang laki-laki meriwayatkan
dan seterusnya. Ibnu hajar Al-Asqalani menjelaskan nama-nama para perawi yang
belum disebutkan oleh Shahih Al-Bukhari dalam kitabnya Hidayat As-Sari
Muqaddimah Fath Al-Bari.
Tujuan ilmu ini mengetahui
siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-orang yang disebutkan dalam
matan atau sanad hadits yang masih samar-samar atau tersembunnyi.
Di antara ulama yang
menyusun kitab ini adalah Al-Khathib Al-baghdadi yang kemudian diringkas dan
dibersihkan oleh An-Nawawi dalam bukunya Al-Isyarat ila Bayani Asma
Al-Mubhamat. Waliyuddin Al-Iraqi dengan karyanya Al-Mustafad min Mubhamat Al-Matan
wa Al-Isnad, dan lain-lain.
8.
‘Ilmu Asbab
Wurud Al-Hadits
Menurut
istilah Asbab Al-Wurud Al-Hadits adalah:
علم يعرف به اسباب ورود الحديث ومناسباته
Artinya:
“Ilmu
yang menerangkan sebab-sebab datangnya hadits dan beberapa munasabahnya (latar
belakangnya).”
علم يعرف به السبب الذي ورد لاجله الحديث
والزمان الذي جاء فيه
Artinya:
“Ilmu
yang menerangkan sebab-sebab Nabi saw. menuturkan sabdanya dan masa-masanya
Nabi saw. menuturkan.”
‘Ilmu
Asbab Wurud Al-Hadits adalah ilmu yang menjelaskan tentang sebab-sebab
datangnya hadits, latar belakang dan waktu terjadinya. Misalnya, datangnya
suatu hadits karena Nabi ditanya oleh seorang sahabat tentang suatu masalah
yang dianggap sulit baginya. Ilmu ini sangat penting untuk memahami makna yang
terkandung dalam matan hadits secara kontekstual seperti halnya ‘Ilmu Asbab
Nuzul Al-Qur’an (sebab-sebab turunny aAl-Qur’an) bagi pemahaman Al-Qur’an.
Ilmu
ini mempunyai kaitan erat dengan ilmu Tarikh Al-Matan dan mempunyai kaidah seperti
‘Ilmu Asbab Nuzul Al-Qur’an di atas.’Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits titik berat
pembahasannya kepada latar belakang dan sebab lahirny hadits. Sedangkan ‘Ilmu
tarikh Al-Matan, menitik beratkan pembahasannya pada kapan atau waktu apa
hadits tersebut diwurudkan. Hal ini bermanfaat untuk keperluan nasikh-mansukh.
Mengetahui peristiwa yang melatar belakangi wurudnya hadits sangat penting,
sebab dapat membantu untuk memahami makna yang terkandung dalam hadits secara
sempurna. Mengetahui sebab dapat mengetahui musabbab (akibat).
Adapun
manfaat mengetahui ‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits antara lain:
a. Untuk memamahami dan menafsirkan hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang
berkaitan dengan wurudnya hadits tersebut atau mengetahui kekhususan konteks
makna hadits.
b. Mengetahui sebab-sebab dan latar belakang munculny suatu hadits, sehingga
dapat mendukung dalam pengkajian makna hadits yang dikehendaki.
Cara
mengetahui sebab wurudnya hadits adalah dengan melihat aspek riwayat atau
sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadits. Sebab-sebab wurudnya,
ada yang sudah tercantum pada matan hadits lain. Dalam hal itu tidak tercantum,
maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan dari para
sahabat.
Perintis
‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits adalah Abu Hamid Ibn Kaznah Al-Jubari dan Abu
Hafsah ‘Umar Ibn Muhammad Ibn Raja’ Al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad
Al-Husaini (w. 1120 H). Ulama pertama yang menulis ilmu ini adalah Abu Hafsah
Umar bin Muhammad bin Raja Al-Ukrabi (w. 309 H), dan yang menulis Al-Bayan wa
At-Ta’rif, As-Suyuthi (w. 911 H) yang menulis Asbab Wurud Al-Hadits atau Al-Luma
fi Asbab Wurud Al-Hadits, dan lain sebagainya. Adapun kitab yang berkaitan
dengan itawarikh al-mutun adalah kitab Muhasin Al-Isthilah, susunan Siraj
Al-Din Abu Hafsah ‘Amar Ibn Salar Al-Bulqini.
9. ‘Ilmu Tashhif wa Tahrif
‘Ilmu
Tashhif wa Tahrif adalah:
علم يعرف به ما صحف من الاحاديث وما حرف منها
Artinya:
“Ilmu
yang membahas hadits-hadits yang diubah titiknya (mushhaf) atau dirubah
bentuknya (muharraf).”
Misalnya
kata:
ابن مراحم ditulis ابن
مراجم
احتجر ditulis
احتجم
Tujuannya,
mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadits
dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi kesalahan terus
menerus dalam penukilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasan dan ke-dhabit-an
seorang perawi.
Diantara
kitab yang membicarakan tentang ilmu ini adalah kitab Ad-Daruquthni (w. 385 H) At-Tashhif
li Ad-Daruquthni dan kitab Tashhifat Al-Muhadditsin ditulis oleh Abu Ahmad
Al-Askari (w. 283 H), Ishlah Khatha’ Al-Muhadditsin ditulis oleh Al-Khathabi,
dan lain-lain.
10. ’Ilmu Mushthalah Al-Hadits
’Ilmu Mushthalah Al-Hadits adalah:
علم يبحث فيه عما اصطلح عليه المحدثون وتعارفوه
فيما بينهم
Artinya:
“Ilmu
yang membahas tentang pengertian istilah-istilah ahli hadits dan yang dikenal
antara mereka.”
Maksudnya
ilmu ini membicarakan pengertian istilah-istilah yang dipergunakan ahli hadits
dalam penelitian hadits dan disepakati mereka, sehingga menjadi populer di
tengah-tengah mereka. Misalnya; sanad, matan, mukharrij, mutawatir ahad, shahih
dha’if dan lain-lain.
Tujuannya,
memudahkan para pengkaji dan peneliti hadits dalam mempelajari dan riset
hadits, karena para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan
kegiatannya dengan mudah tanpa mengetahui istilah-istilah yang telah disepakati
oleh para ulama.
Di
antara ulama yang menulis ilmu ini adalah Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi (w. 360
H) yang menulis Al-Muhaddits Al-Fashil Bayn Ar-Rawi wa Al-Wa’i, kemudian
diikuti oleh yang lain seperti Al-Hakim An-Naisaburi (w. 430 H) yang menulis Ma’rifat
‘Ulum Al-Hadits dan Abu Nu’aim Al-Ashbahani (w. 430 H) Al-Mustakhraj ‘ala
Ma’rifat ‘Ulum Al-Hadits.
BAB III
PENUTUP
Dari
penjelasan diatas, kami dapat menyimpulkan bahwa dari segi bahasa, ilmu hadits
terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadits. Secara sederhana, ilmu artinya
pengetahuan yang sistematis, knowledge, dan science, sedangkan hadits artinya
sebagai berikut:
مَاجَاءَ عَنٍ النَّبِيِّ صَلىَّ الله عَلَيْهِ
وَسَلَْمَ : سَوَاءٌ كَانَ قََوْلاً اَوْ فِعْلاً اَوْ تَقْرِيْرًا
Artinya:
“Sesuatu
yang datang dari Nabi saw baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau
persetujuan.”
Kemudian ilmu hadits ini terbagi menjadi dua macam, yaitu Ilmu hadits Riwayah dan
Ilmu Hadits Dirayah.
RESUME
ILMU HADITS RIWAYAH DAN ILMU HADITS DIRAYAH
Tinjauan
|
Ilmu Hadits Riwayah
|
Ilmu Hadits Dirayah
|
Objek pembahasan
|
Segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.
|
Hakikat, sifat-sifat dan kaidah-kaidah dalam
periwayatan
|
Pendiri
|
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w. 124 H)
|
Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad
Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H)
|
Tujuan
|
Memelihara syari’ah Islam dan otentisitas Sunnah
|
Meneliti hadits berdasarkan kaidah-kaidah atau
persyaratan dalam periwayatan.
|
Faedah
|
Menjauhi kesalahan dalam periwayatan
|
Mengetahui periwayatan yang diterima (maqbul) dan yang
tertolak (mardud)
|
Cabang-cabang Ilmu Hadits
1.
Ilmu Rijal Al-Hadits
2.
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
3.
‘Ilmu
‘Ilal Al-Hadits
4.
‘Ilmu Gharib Al-Hadits
5.
‘Ilmu Muhtalif Al-Hadits
6.
‘Ilmu Nasikh wa Mansukh
7.
‘Ilmu Fann Al-Mubhamat
8. ‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
9.
‘Ilmu Tashhif wa Tahrif
10.
’Ilmu Mushthalah Al-Hadits
DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Cet. Ke-3.
Jakarta: Amzah.
Sutari, Endang. 2008. Ilmu Hadits. Cet. Ke-5.
Bandung: Mimbar Pustaka.
http://amarfasyni.blogspot.com/2013/02/makalah-ulumul-hadits.html
0 komentar:
Posting Komentar