Senin, 04 Februari 2013

Assalamu'alaikum..
Gimana newh temen" kabar'a? semoga baik" aja y,, amin..
Setelah sekian lama tak jumpa (Lebbbbayy.Red), rasa'a saya kangen juga newh ingin menambahkan 'sesuatu' yang mudah"an bermanfaat bagi agan" semua, terutama yang berhubungan dengan civitas akademika.. Langsung aja gan di cekidot:-)






'ULUMUL HADITS
Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti UTS dan UAS

Disusun oleh:
KELOMPOK 3
ü  AHMAD ZAENUDIN ARIF
ü  ALI MURSYID
ü  AMAR FASYNI
ü  ANDRI M. ANSOR
KELAS II A

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
 BANDUNG
2010-2011



KATA PENGANTAR
            Segala puji kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah membimbing manusia dengan petunjuk-petunjuk-Nya sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang diridhai-Nya. Tak lupa juga kami bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan penulisan makalah yang sederhana ini sehingga dapat terselesaikan.
            Shalawat dan salam semoga senantiasa dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw., para sahabat, keluarga dan para pengikutnya sampai di hari kiamat, terutama mereka yang memelihara keutuhan, kemurnian, dan otentisitas sunnah baik dengan cara penghafalan, periwayatan, penulisan, pengkodifikasian, pengamalan dan penerbitan.


Bandung,      Maret 2011


                                                                                              Penyusun


 
DAFTAR ISI:
KATA PENGANTAR...........................................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 
BAB II PEMBAHASAN
A.     Pengertian Ilmu Hadits...............................................................................................
B.     Pembagian Ilmu Hadits..............................................................................................
C.     Cabang-cabang Ilmu Hadits.......................................................................................
BAB III PENUTUP...............................................................................................................
RESUME................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................



i
ii
1

2
3
9
23
24
25
BAB I
PENDAHULUAN
            Ilmu hadits adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Adapun perawi yaitu orang-orang yang membawa, menerima dan menyampaikan berita dari Nabi yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadits. Bagaimana sifat-sifat mereka, apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau tidak, bagaimana sifat kejujuran dan keadilan mereka dan bagaimana daya ingat mereka apakah sangat kuat atau lemah. Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwi) terkadang guru-guru perawi yang membawa berita dalam sanad suatu hadits atau isi berita (matan) yang diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika dibandingkan dengan sanad atau matan perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui hal tersebut dapat diketahui apakah hadits itu shahih atau tidak shahih (dhaif). Ilmu yang berbicara tentang hal tersebut disebut ilmu hadits.
            Untuk lebih jelasnya, kami akan memaparkan secara rinci pada bab berikutnya.



 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Hadits
Dari segi bahasa ilmu hadits terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadits. Secara sederhana, ilmu artinya pengetahuan yang sistematis, knowledge, dan science, sedangkan hadits artinya sebagai berikut:

مَاجَاءَ عَنٍ النَّبِيِّ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَْمَ : سَوَاءٌ كَانَ قََوْلاً اَوْ فِعْلاً اَوْ تَقْرِيْرًا
Artinya:
            “Sesuatu yang datang dari Nabi saw baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan.”
            Adapun definisi ilmu hadits itu sendiri, para ahli hadits banyak yang memberikan definisi ilmu hadits diantaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagai berikut:

            هُوَ مَعْرِفَة ُالْقَوَاعِدِ الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى مَعْرِفَةِ الرَّاوِيّ وَالْمَرْوِيِّ
Artinya:
“Adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan sambungan untuk mengetahui (keadaan) perawi dan yang diriwayatkan.”
Atau definisi yang lebih ringkas:

اَلْقَوَاعِد اْلمُعَرِّفَة ُبِحَالِ الرَّاوِيُّ وَاْلمَرْوِيِّ
Artinya:
            “Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkan.”
            Dari berbagai definisi di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Adapun perawi yaitu orang-orang yang membawa, menerima dan menyampaikan berita dari Nabi yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadits. Bagaimana sifat-sifat mereka, apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau tidak, bagaimana sifat kejujuran dan keadilan mereka dan bagaimana daya ingat mereka apakah sangat kuat atau lemah. Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwi) terkadang guru-guru perawi yang membawa berita dalam sanad suatu hadits atau isi berita (matan) yang diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika dibandingkan dengan sanad atau matan perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui hal tersebut dapat diketahui apakah hadits itu shahih atau tidak shahih (dhaif). Ilmu yang berbicara tentang hal tersebut disebut ilmu hadits.

B.     Pembagian Ilmu Hadits
            Kemudian ilmu hadits ini terbagi menjadi dua macam, yaitu Ilmu hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Penjelasannya sebagai berikut:
1.      Ilmu Hadits Riwayah
            Menurut bahasa, riwayah dari akar kata روى – يروى – رواية   yang berarti an-naql = memindahkan dan penukilan, adz-dzikr = penyebutan, dan al-fatl = pemintalan. Seolah-olah dapat dikatakan periwayatan adalah memindahkan berita atau menyebutkan berita dari orang tertentu kepada orang lain dengan dipertimbangkan/ dipintal kebenarannya. Dalam bahasa Indonesia sering disebut riwayat dalam arti memindahkan berita dari sumber berita kepada orang lain. Atau “memindahkan sunnah dan sesamanya dan menyandarkannya kepada orang yang membawa berita atau yang menyampaikan sunnah tersebut atau yang lainnya.”
            Secara istilah, ilmu hadits Riwayah, menurut pendapat Dr. Shubhi Ash-Shalih adalah sebagai berikut:

عِلْمُ الْحَدِيْثِ رِوَايَة ًيَقُوْمُ عَلَىْ النَّقْلِ الْمُحَرَّرِ الدَّقِيْقِ لِكُلِّ مَا اُضِيْفَ اِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَََََوْلِ اَوْ فِعْلِ اَوْ تَقْرِيْرِ اَوْ صِفَةٍ وَلِكُلِّ مَا اُضِيْفَ اِلَى الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ
Artinya:
            “Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan maupun sifat serta segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.”
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلىَ اَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرِ اَلْفَاظِهَا
Artinya:
            “Ilmu yang mempelajari tentang segala perkataan kepada Nabi saw, segala perbuatan beliau, periwayatannya, batasan-batasannya dan ketelitian segala redaksinya.”
            Kedua definisi di atas memberi konotasi makna yang sama yakni objek pembahasannya adalah perkataan Nabi atau perbuatannya dalam bentuk periwayatan tidak semata-mata datang sendiri. Di sini berarti fokusnya pada matan atau isi berita hadits yang disandarkan kepada Nabi saw. atau juga disandarkan kepada sahabat dan tabi’in menurut definisi yang pertama. Oleh karena itu, ilmu ini disebut ilmu riwayah karena semata-mata hanya meriwayatkan apa yang disandarkan kepada Nabi saw.
            Objek pembahasan ilmu ini adalah diri Nabi (dzatiyat ar-rasul) baik dari segi perkataan, perbuatan, maupun persetujuan beliau dan bahkan sifat-sifat beliau yang diriwayatkan secara teliti dan berhati-hati, tanpa membicarakan nilai shaih atau tidaknya. Periwayatan hadits dari Nabi atau dapat dikatakan dari fokus pembicaraan hanya pada periwayatan yang menyangkut diri Nabi dari segala aspek tersebut. Tentunya kata periwayatan menyangkut siapa yang menjadi perawi (rawi) dari siapa ia meriwayatkan suatu berita (marwi ‘anhu) dan apa isi berita yang diriwayatkan (marwi). Dengan demikian ilmu hadits riwayah mempelajari periwayatan yang mengakumulasi apa, siapa dan dari siapa berita itu diriwayatkan tanpa mempersyaratkan shahih atau tidaknya suatu periwayatan. Ilmu yang membahas diterima atau tidaknya suatu periwayatan, shahih atau tidaknya suatu periwayatan bukan bagian Ilmu Hadits Riwayah.
            Fokus pembahasan Ilmu Hadits Riwayah atau penekanan pembahasannya memang matan yang diriwayatkan itu sendiri, karena memang perkataan danperbuatan Rasul itu adanya pada matan. Namun, matan ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa ada sanadnya, bahkan sebagian ulama megatakan bahwa rukun hadits itu teridiri dari sanad dan matan. Jika ada redaksi matan saja tanpa diserstai sanad bukan dinamakan hadits, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian pekembangan Ilmu Hadits Riwayah tidak bisa lepas dari Ilmu Hadits Riwayah.
            Pendiri Ilmu Hadits Riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w. 124 H) yakni orang pertama melakukan penghimpunan Ilmu Hadits Riwayah secara formal berdasarkan intruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sedang kegunaan dan manfaat mempelajari Ilmu Hadits Riwayah di antaranya adalah:
1.      Memelihara hadits secar hati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan dalam periwayatan.
2.      Memelihara kemurnian Syari’ah Islamiyah karena sunnah atau hadits adalah sumber hukum Islam seteleah Al-Qur’an.
3.      Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat Islam sehingga sunnah dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
4.      Mengikuti dan meneladani akhlak nabi saw. karena tingkah laku dan akhlak beliau secara terperinci dimuat dalam hadits.
5.      Melaksanakan hukum-hukum Islam serta memelihara etika-etikanya, karena seseorang tidak mungkin mampu memelihara hadits sebagai sumber syari’at islam tanpa mempelajari Ilmu Hadits Riwayah ini.

2.      Ilmu Hadits Dirayah
            Menurut bahasa, kata Dirayah berasal dari kata درا – يدرى – دراية  = pengetahuan, jadi yang dibahas aaalah dari segi pengetahuannya yakni pengetahuan tentang hadits atau pengantar ilmu hadits.
            Sedangkan menurut istilah, Ilmu Hadits Dirayah adalah sebagai berikut:

عِلْمٌ يُعْرَفُ مِنْهُ حَقِيْقَةُ الرِّوَايَةِ وَشُرُوْطُهَا وَاَنْوَاعُهَا وَاَحْكَامُهَا وَحَالُ الرُّوَاةِ وَشُرُوْطُهُمْ وَاَصْناَفُ الْمَرْوِيَّاتِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا
Artinya:
            “Ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam, periwayatan dan hal-hal; yang berkaitan dengannya.”

            Untuk memperjelas definisi di atas perlu dikemukakan secara terperinci.
1.      Maksud hakikat periwayatan pada definisi di atas memindahkan berita dalam sunnah atau sesamanya dan menyandarkannya kepada orang yang membawa berita atau yang menyampaikan berita tersebut atau kepada yang lainnya.
2.      Syarat-syarat periwayatan maksudnya kondisi perawi ketika menerima (tahammul) periwayatan hadits, apakah menggunakan metode as-sama’ (murid mendengar penyampaian guru), al-qira’ah (murid membaca guru mendengar), al-ijazah (guru memberi izin murid untuk meriwayatkan haditsnya) dan lain-lain.
3.      Macam-macamnya yakni macam-macam periwayatan apakah bertemu langsung (sanad muttashil) atau terpurtus (inqitha’).
4.      Hukum-hukumnya, diterima (maqbul) atau dtolak (mardud).
5.      Keadaan para perawi, seorang perawi ketika menerima (tahammul) dan menyampaikan (ada’) hadits, adil atau tidak, di mana tempat tinggal, lahir dan wafatnya. Sedang kondisi marwi maksudnya hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan periwayatan ketika tahammul (menerima hadits) dan ada’ (menyampaikan periwayatan), persambungan sanad dan tidaknya dan lain-lain. Demikian juga berita yang diriwayatkan itu apakah rasional atau tidak, bertentangan dengan Al-Qur’an atau tidak dan seterusnya.
6.      Macam-macam periwayatan, artinya hadits atau atsar macam-macam bentuk pembukuannya apakah Musnad, Mu’jam, Ajza’ dan lain-lain.
7.      Hal-hal yang berkaitan dengannya, mengetahui istilah-istilah ahli hadits.
            Wilayah Ilmu Hadits Dirayah adalah penelitian sanad dan matan, periwayatan, yang meriwayatkan dan yang diriwayatkan, bagaimana kondisi dan sifat-sifatnya diterima atau ditolak, shahih dari Rasul atau dha’if. Dengan demikian Ilmu Hadits Dirayah berbeda dengan Ilmu Hadits Riwayah. Ilmu Hadits Riwayah fokusnya hanya mempelajari periwayatan (riwayah) segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw. tanpa mempelajari shahih atau tidaknya suatu hadits baik yang disandarkan kepada Nabi  (marfu’) atau disandarkan pada sahabat (mawquf) dan atau disandarkan kepda tabi’in (maqthu’). Tujuannya untuk mengingat-ingat dan memelihara hadits Nabi tersebut yang dijadikan salah satu sumber hukum Islam. Sedang Ilmu Hadits Dirayah Fokusnya pada pengetahuan (dirayah) hadits baik dari segi keadaan sanad dan matan, apakah telah memenuhi persyaratan sebagai hadits yang diterima atau tertolak, seperti perkembangan pengkodifikasiannya pada masa abad ketiga hijriah. Pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H).
            Ilmu Hadits Dirayah mempunyai nama-nama lain, seperti ‘Ulum Al-Hadits, Ushul Al-Hadits, Ushul Ar-Riwayah dan Mushthalah Al-Hadits. Masing-masing nama tersebut mempunyai filsafat makna yang berdekatan antara satu dengan yang lain. Ilmu Hadits Dirayah artinya secara sederhana pengetahuan (dirayah) tentang hadits baik berkaitan dengan sanad maupun matan. Ulumul Hadits, ‘ulum bentuk plural dari ilmu berarti mencakup beberapa ilmu hadits yang semula berserakan, seperti ilmu tentang biografi tokoh-tokoh hadits (‘Ilmu Rijal Al-Hadits), adalah ilmu yang membahas  tentang hal ihwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabat, tabi’in dan atba’al-tabi’in. Ilmu tentang biografi Periwayat Hadits (‘Ilmu Gharib Al-Hadits) adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan Hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum, dan lain-lain. Ushul Al-Hadits atau Ushul Ar-Riwayah kaidah-kaidah yang dijadikan parameter dalam menilai hadits diterima atau tidak suatu periwayatan hadits. Mushthalah Al-Hadits, berbicara tentang istilah-istilah yang disepakati ahli hadits atau pengertiannya adalah ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-istilah ahli hadits dan yang dikenal antara mereka, sehingga menjadi populer di tengah-tengah mereka, misalnya, sanad, matan, mukharrij, mutawatir ahad, shahih dha’if dan lain-lain. Tujuannya, memudahkan para pengkaji dan peneliti hadits dalam mempelajari dan riset hadits, karena para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan kegiatannya dengan mudah tanpa mengtahui istilah-istilah yang telah disepakati oleh para ulama. Dan pembahasan lebih dalam akan dilanjutkan pada bagian cabang-cabang ilmu yang akan di bahas pada bab selanjutnya.
            Adapun untuk memperjelas perbedaan kedua ilmu hadits tersebut, berikut adalah gambaran perbedaan kedua ilmu hadits tersebut.

RINGKASAN PERBEDAAN ANTARA
ILMU HADITS RIWAYAH DAN ILMU HADITS DIRAYAH

Tinjauan
Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Dirayah
Objek pembahasan
Segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.
Hakikat, sifat-sifat dan kaidah-kaidah dalam periwayatan
Pendiri
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w. 124 H)
Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H)
Tujuan
Memelihara syari’ah Islam dan otentisitas Sunnah
Meneliti hadits berdasarkan kaidah-kaidah atau persyaratan dalam periwayatan.
Faedah
Menjauhi kesalahan dalam periwayatan
Mengetahui periwayatan yang diterima (maqbul) dan yang tertolak (mardud)

            Sekalipun berbeda antara Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah, namun keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara ilmu hadits riwayah dan dirayah atau antara hadits dan ilmu hadits merupakan satu sistem yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya (syay’an nutalaziman). Seperti halnya hubungan antara ilmu tafsir dengan tafsir, ushul fikih dan sebagainya.lahirnya Ilmu Hadits Riwayah tidak lepas dari peran ilmu hadits Dirayah baik secara implisit maupun eksplisit. Di antara perannya adalah meriwayatkan, menghimpun, menelusuri, menfilter dan mengklasifikasikan kepada berbagai tingkatan dan aneka macam, mana hadits dan mana yang bukan hadits, mana sabda Nabi dan mana perkataan atau fatwa sahabat, mana hadits yang diterima (maqbul) dan mana hadits yang tertolak (mardud). Sedang Ilmu Hadits Riwayah sebagai produknya yang telah matang dari proses penelusuran tersebut, atau dalam kalimat lain Ilmu Hadits Dirayah sebagai input, sedangkan Ilmu Hadits Riwayah bagaikan output-nya. Oleh karena itu, tidak ada faedahnya Ilmu Hadits Riwayah saja tanpa disertai Ilmu Hadits Dirayah.








C.    Cabang-Cabang Ilmu Hadits
            Banyak sekali jumlah cabang Ilmu Hadits, para ulama menghitungnya secara beragam. Ibnu Ash-Shalah menghitungnya 65 cabang, bahkan ada yang menghitung hanya 10 hingga 6 cabang tergantung kepentingan penghitung itu sendiri, ada yang menghitungnya secara terperinci dan ada pula yang menghitungnya secara global saja. Jika dihitung 6 cabang adalah Ilmu tarikh Ar-Ruwah, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu Gharib Al-Hadits, Ilmu Mukhtalif Al-Hadits wa Musykilatuh, Ilmu Nasikh Mansukh dan Ilmu ‘Ilal Al-Hadits.adapun yang dijelaskan penulis pada makalah ini adalah 10 cabang Ilmu Hadits, yang terpenting baik dilihat dari segi sanad atau matan dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut.
1.      Ilmu Rijal Al-Hadits
            Ilmu Rijal Al-Hadits dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Tarikh Ar-Ruwah dan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Ilmu tarikh Ar-Ruwah adalah:
هُوَ التَّعْرِيْفُ بِالْوَقْتِ الَّذِىْ تَصْبَطُ بِاْلاَحْوَالِ مِنَ الْمَوَالِيْدِ وَالْوَفَيَاتِ وَالْوَقَائِعِ وَغَيْرِهَا
Artinya:
            “Ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran, wafat, peristiwa/kejadian dan lain-lain.”

علم يبحث فيه عن احوال الرواة وسيرهم من الصحابة والتابعين وتابع التابعين

Artinya:
            “Ilmu yang membahas tentang para perawi dan biografinya dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.”
            Jadi, Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan para perawi hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan kewafatan mereka, siapa guru-gurunya atau dari siapa mereka menerima sunnah dan siapa murid-muridnya atau kepada siapa mereka menyampaikan periwayatan hadits, baik dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in.
            Materi dari ilmu tersebut adalah:
a.       Konsep tentang rawi dan thabaqah
b.      Rincian thabaqah
c.       Biografi dari rawi yang telah tebagi pada tiap thabaqah.
            Rawi adalah yang menerima, memelihara dan menyampaikan kepada orang lain dengan menyebutkan sumber penderitaannya. Derajat dan kedudukan para sahabat berbeda-beda, karena perbedaan ilmu dan keadaan masing-masing. Ada yang ahli dalam Al-Qur’an, hadits, fikih, ada yang dekat dengan Nabi saw. dan lain-lain.
            Yang diperdebatkan oleh para Muhadditsin adalah tentang keadilan sahabat dalam periwayatan hadits. Jumhur ulama berpendapat bahwa seluruh sahabat adalah adil, termasuk yang terlibat fitnah pembunuhan. Mu’tazilah berpendapat bahwa seluruh sahabat itu adil yang selain terlibat pembunuhan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.
            Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (muttashil) atau tidak sanad suatu hadits. Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi berita itu bertemu langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak atau hanya pengakuan saja. Semua itu dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttashil-nya sanad ini nanti dijadikan salah satu syarat keshahihian suatu hadits dari segi sanad.
            Pertama kali orang yang sibuk memperkenalkan ilmu ini secara ringkas adalah Al-Bukhari (w. 256 H) kemudian Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H) dalam Thabaqat-nya. Kemudian berikutnya Izzudin bin Al-Atsir (w. 630 H) menulis Usud Al-Ghabah fi Asma Ash-Shahabah, Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) yang menulis Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah kemudian diringkas oleh As-Suyuthi (w. 911 H) dalam bukunya yang bernama ‘Ayn Al-Ishabah. Al-Wafayat karya Ibnu Zabir Muhammad bin Abdullah Ar-Rubi (w. 379 H).
2.      Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
            Dr. Subhi Ash-Shalih memberikan definisi ‘Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu sebagai berikut:

وَهُوَ عِلْمٌ يَبْحَثُ عَنِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ مَا وَرَدَ فِي شَأْنِهِمْ مِمَّا يُشِيْنُهُمْ اَوْ يُزَكِّيْهِمْ بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ
Artinya:
            “Ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus.”
            Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat (al-jarh) atau adilnya (at-ta’dil) seorang perawi dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki tertentu. Misalnya penilaian seseroang أثبت الناس = orang yang paling kuat dalam periwayatan, ثِقَةُ ثِقَةُ = terpercaya-terpercaya, ثقة, حُجَّةٌ حَافِظٌ = dapat dijadikan hujjah, terpercaya, seorang hafidz dan seterusnya atau sebaliknya. Nilai kadar cacat atau keadilan seorang perawi dituangkan dalam berbagai buku Al-Jarh wa At-Ta’dil berdasarkan hasil observasi dan pengamatan penelitian seseorang yang telah tahu persis tentang persoalan ini yang didasarkan pada fakta dan data yang akurat.
            Adapun pengertian ta’dil yaitu menganggap adil seorang rawi, yakni memuji rawi dengan sifat-sifat yang membawa maqbulnya riwayat. Sedangkan Al-Jarh atau Tarjih artinya mencatatkan, yakni menuturkan sebab-sebab keaiban rawi. Perbuatan Tarjih termasuk mengumpat yang dibolehkan oleh agama, sebab untuk keperluan agama dan tidak melampaui batas kemanusiaan.
            Tarjih rawi berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
a.       Bid’ah, yakni mempunyai i’stikad berlawanan dengan dasar syari’at. Orang tersebut digolongkan kafir, seperti golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan menyatu dengan ‘Ali dan imam-imam lain dan mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali ke dunia sebelum kiamat.
b.      Mukhalafah, yakni perlawnan sifat ‘adil dan dhabith seorang rawi dengan rawi yang lain yang lebih kuat yang tidak dapat dijama’kan atau dikompromikan.
c.       Ghalath, yakni kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun banyak kesalahan yang dilakukan.
d.      Jahalah Al-Hal, yakni tidak diketahui identitasnya.
e.       Da’wa Al-Inqitha’, yakni mendakwa terputusnya sanad.
            Kaidah Tarjih dan Ta’dil ada dua macam:
a.       Naqd Khariji, yaitu kritik eksternal, yakni tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi.
b.      Naqd Dakhili, yaitu kritik internal, yakni tentang makna hadits dan syarat keshahihannya.
            Dari tarjih atau ta’dil yang menghasilkan jarihnya seorang rawi, sebaiknya masih harus diteliti berulang-ulang, agar tidak menimbulkan kegoncangan, sebab mungkin saja ada kelemahan dalam kondisi jarih atau sebab jarhnya, atau tarjihnya terlalu keras (tasaddud).
            Tujuan ilmu ini untuk mengetahui sifat atau niai keadilan, kecacatan dan atau ke-dhabith-an (kekuatan daya ingat) seorang perawi hadits. Jika sifatnya adil dan dhabit maka haditsnya dapat diterima sebagai hadits yang shahih dan jika cacat tidak ada keadilan dan ke-dhabith-an maka haditsnya tertolak.
            Ibnu Adi (w. 365 H) dalam mukadimah Al-Kamil menjelaskan nilai keadilan para ahli hadits sejak masa sahabat. Di antara sahabat yang menyebutkan sifat dan keadaan para perawi hadits adalah Ibnu Abbas, Ubadah bin Shamit dan Anas bin Malik. Dan dia antara tabbi’in adalah Asy-Sya’bi, Ibnu sirin dan Sa’ad bin AlMusayyab, sedikit sekali di antara mereka yang digolongkan cacat (tajrih) dalam keadilan. Pada abad kedua Hijriah, mulailah terdapat para perawi yang dha’if. Pada masa akhir tabi’in yaitu sekitar pada tahun 150 H, bangkitlah para ulama untuk mengungkap para perawi yang adil (ta’dil) dan yang ccat (tajrih), di antara mereka adalah Yahya bin Sa’id Al-Qathan dan Abdurrahman Al-Mahdi.
            Di antara kitab yang berbicara tentang ilmu ini adalah Thabaqat Ibn Sa’ad Az-Zuhri Al-bashri (w. 230 H) terdiri dari 15 jilid, Tawarikh Tsalatsah dan At-Tarikh Al-Kabir oleh Al-Bukhari (w. 256 H), Tarikh ditulis oleh Ali Al-Madini (w. 234 H), Al-Jarh wa Al-Ta’dil karya Ibnu Hatim, Ats-Tsiqat karya Ibnu Hibban, Al-Kamil fi Ad-Dhuafa’ karya Ibnu Adi, Al-Kamil fi Asma’ Ar-Rijal karya Abdul Ghani Al-Maqdisi. Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi, Tahdzib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan lain-lain.

3.      ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
            Secara bahasa,  al-‘illah diartikan al-maradh = penyakit. Sedangkan menurut istilah ilmu hadits, ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits adalah:

سَبَبٌ خَفِيٌّ يَقْدَحُ فِى الْحَدِيْثِ مَعَ ظُهُوْرِ السَّلاَمَةِ مِنْهُ
Artinya:
            “Suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat pada hadits sementara lahirnya tidak nampak adanya cacat tersebut.”

علم يبحث فيه عن اسباب غامضة حفية قاضحة صحة الحديث
Artinya:
            “Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadits.”
            Jelasnya ilmu ini membahsa tentang ‘illat yang berupa memutashilkan yangn munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukan suatu hadits ke dalam kadits yang lain.
            ‘Illat terjadi pada sanad dan terjadi pula pada matan, yakni:
a.       Lahirnya sanad shahih padahakl terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri dari gurunya.
b.      Hadits mursal dimusnadkan lahirnya.
c.       Hadits mahfudz dari tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda tempat tinggalnya.
d.      Hadits mahfudz dari sahabat tertentu duruwayatkan dengan paham tabi’in.
e.       Meriwayatkan dengan ‘an’anah suatu hadits yang sanad-nya gugur seorang rawi atau beberapa orang.
f.       Berlainan sanad-nya dengan sanad yang lebih kuat.
g.      Berlainan nama gurunya yang memberikan hadits dengan nama guru rawi-rawi tsiqat, atau nama guru tidak disebutkan dengan jelas.
h.      Meriwayatkan hadits yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun gurunya itu benar-benar guru yang pernah memberikan beberapa hadits padanya.
i.        Meriwatkan hadits dengan sanad yang lain, secara paham terhadap hadits sebenarnya, hanya mempunyai satu sanad.
j.        Memauqufkan hadits yang marfu’.
            ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar yang membuat kecacatan keshahihan hadits, seperti me-washal-kan hadits yang munqathu’ dan me-marfu’-kan hadits yang mawquf, memasukkan suatu hadits ke hadits yang lain. Ilmu ini adalah salah satu dari Ulum Al-Hadits yang paling utama, karena ‘Ilal Al-Hadits ini tidak dapat terungkap kecuali oleh apra ulama yang memiliki keilmuan yang sempurna tentang tingkatan para perawi dan memiliki indra yang kuat tentnang matan dn sanad. Ilmu ini juga membahas lafadz yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami.
            Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui siapa di antara periwayat hadits yang terdapat illat dalam periwayatannya, dalam bentuk apa dan di mana ‘illat tersebut terjadi, dan pada sanad atau pada matan juga untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga.
            Yang mula-mula mengusahakan pengumpulan lafaddz yang gharib adalah Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn Al-Mutsanna (210 H) dan Abu Al-Hasan Al-Manini (240 H). Tiga kitab gharib Al-Hadits di abad III H adalah susunan Abu ‘Ubaid Al-Qasim Ibn Sallam (224 H), Ibn Qutaibah Al-Dainuri (276 H) dan Al-Khaththabi (378 H). Kitab lainnya setelah itu adalah kitab Gharib Al-Qur’an dan Al-Hadits susunan Al-Harawi (401 H) dan Al-Faiq susunan Al-Zamakhsari. Adapun kitab terbesar adalah Al-Nihayah susunan Ibn Al-Atsir (606 H) yang diikhtisarkan oleh Al-Suyuthi (911 H) dalam kitab al-Durr Al-Natsir.
            Di antara ulama yang konsen dalam ilmu ini adalah Ibnu Al-Madini (w. 234 H) dalam bukunya Al’Ilal, Ibnu Abib Hatim (w. 375 H) dengan karyanya ‘Ilal Al-Hadits, Ad-Daruquthni (w. 375 H) dengan karyanya Al-‘Ilal Al-Waridah fi Al-Ahadits, Ahmad bin hanbal dengan karyanya Al-‘Ilal wa Ma’rifat Ar-Rijal, At-Tirmidzi dengan karyanya Al-‘Ilal Al-Kabir dan Al-‘Ilal Ash-Shaghir, penulis lain adalah Muslim (261 H) dan Muhammad Ibnu Abdullah Al-Hakim.
4.      ‘Ilmu Gharib Al-Hadits
            Ilmu Gharib Al-Hadits adalah:

هو ما وقع في متن الحديث من لفظة غامضة بعيدة من الفهم لقلة استعمالها
Artinya:
            “Adalah ilmu yang mempelajari makna matan hadits dari lafal yang sulit dan asing bagi kebanyakan manusia, karena tidak umum dipakai orang Arab.”

            علم يعرف به معنى ما وقع في متون الاحاديث من الالفاظ الغربية عن اذهاب الذين بعد عهدهم بالعربية الخالصة
Artinya:
            “Ilmu yang menerangkan makna kalimat yan terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.”

علم يعرف به ما وقع في متون الاحاجيث من الالفاظ الغامضة البعيدة عن الفهم لقلة استعمالها
Artinya:
            “Ilmu untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matanhadits yang sulit dan sukar dipahami karena jarang sekali digunakan.”
            Misalnya, hadits tentang shalat: Shalatlah berdiri dan barang siapa yang tidak mampu berdiri hendaklah duduk dan jika tidak mampu duduk, hendaklah tiduran di atas lambung. Tidur di atas lambung termasuk gharib karena masih sulit atau kurang jelas dipahami. Maksud hadits shalat di atas lambung apakah lambung yang sebelah kanan atau yang sebelah kiri. Kemudian dijelaskan dengan perkataan Ali maka atas lambung kanan.
            Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui mana kata-kata dalam hadits yang tergolong gharib dan bagaimana metode para ulama memberikan interpretasi kalimat gharib dalam kalimat hadits tersebut. Apakah melalui perbandingan beberapa sanad dalam hadits yang sama atau melalui jalan lain.
            Upaya para ulama muhadditsin untuk menafsirkan keghariban matan hadits antara lain:
a.       Mencari dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib.
b.      Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadits atau sahabat lain yang tidak meriwayatkan.
c.       Memperhatikan penjelasan dari rawi selain sahabat.
            Yang mula-mula mengusahakan pengumpulan lafadz yang gharib adalah Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn Al-Mutsanna (210 H) dan Abu Al-Hasan Al-Manini (240 H). Tiga kitab gharib Al-Hadits di abad III H adalah susunan Abu ‘Ubaid Al-Qasim Ibn Sallam (224 H), Ibn Qutaibah Al-Dainuri (276 H) dan Al-Khaththabi (378 H). Kitab lainnya setelah itu adalah kitab Gharib Al-Qur’an dan Al-Hadits susunan Al-Harawi (401 H) dan Al-Faiq susunan Al-Zamakhsari. Adapun kitab terbesar adalah Al-Nihayah susunan Ibn Al-Atsir (606 H) yang diikhtisarkan oleh Al-Suyuthi (911 H) dalam kitab al-Durr Al-Natsir.
            Di antara ulama yang konsen dalam ilmu ini adalah Ibnu Al-Madini (w. 234 H) dalam bukunya Al’Ilal, Ibnu Abib Hatim (w. 375 H) dengan karyanya ‘Ilal Al-Hadits, Ad-Daruquthni (w. 375 H) dengan karyanya Al-‘Ilal Al-Waridah fi Al-Ahadits, Ahmad bin hanbal dengan karyanya Al-‘Ilal wa Ma’rifat Ar-Rijal, At-Tirmidzi dengan karyanya Al-‘Ilal Al-Kabir dan Al-‘Ilal Ash-Shaghir dan lain-lain.

5.      ‘Ilmu Muhtalif Al-Hadits
            Dr. Mahmud Ath-Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa ‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah:

هو الحديث المقبول المعارض بمثل مع امكان الجمع بينها
Artinya:
            “Hadits makbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.”

علم يبحث فيه التوفيق بين الاحاديث المتنا فضة ظاهرا
Artinya:
            “Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulakan hadits-hadits yang berlawanan lahirnya.”
            ‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang lahirnya terjadi kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik dengan cara di-taqyid (pembatasan) yang mutlak, takhshish al-‘am (pengkhususan yang umum) atau dengan yang lain. Ilmu ini juga disebut ‘Ilmu Talfiq Al-Hadits. Misalnya penulisan hadits pada masa awal perkembangan Islam, ada hadits yang melarang penulisan hadits dan ada pula hadits yang berisi perintah menulis hadits dan lain sebagainya. Jika terjadi seperti di atas, maka langkah penyelesaiannya dikompromikan (al-jam’u wa at-tawfiq) yaitu dengan cara takhhsish al-‘amm (mengkhususkan yang umum), mentaqyidkan hadits yang mutlak, nasikh mansukh, dan lain-lain.
            Tujuan ilmu ini mengetahui hadits mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagaimana pemecahannya atau langkah-langkah apa syang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadits-hadits yang kontra tersebut.
            Pertama kali yang menulis ‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadits ini adalah Asy-Syafi’i (w. 204 H) dengan karyanya Ikhtilaf Al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w. 276 H) dengan karyanya Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits, Ath-Thahawi dengan karyanya Musykil Al-Atsar, dan lain-lain.

6.      ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh
            Menurut ulama ushul fikih, nasakh adalah:

رفع الشارع حكما شرعيا بدليل شرعي متراخ عنه

Artinya:
            “Pembatalan hukum syara’ oleh syar’i (pembuat syari’at) dengan dalil syara’ yang datang kemudian.”
            ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh menurut ahli hadits adalah:

علم يبحث فيه عن الناسخ والمنسوخ من الاحاديث
Artinya:
            “Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menasakh dan yang dinasakh.”
            ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh membahas hadits-hadits yang kontradiktif yang tidak mungkin dikompromikan, maka salah satunya yang datangnya belakangan sebagai nasikh dan yang lain datangnya duluan sebagai mansukh. Misalnya transaksi nikah (mut’ah) pernah diperbolehkan dalam suatu pertempuran berbulan-bulan, kemudian belakangan dilarang Rasulullah saw. Demikian juga masalah ziarah kubur dan membekam. Atau kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain juga berupa cara mengetahui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah saw. sendiri, keterangan sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.
            Ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan hadits bila ada dua hadits maqbul yang tanaqud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat Mukhtalif Al-Hadits, kedua hadits maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan), maka hadits maqbul yang tanaqud tadi ditarjih atau dinasakh. Bila diketahui mana di antara kedua hadits yang diwurudkan duluan dan yang diwurudkan kemudian, maka yang diwurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh.
            Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui salah satu proses hukum yang dihasilkan dari Hadi dalam bentuk Nasikh Mansukh dan mengapa terjadi Nasikh Mansukh.
            Pertama kali yang menulis Nasikh Al-Hadits wa Mansukh adalah Ahmad bin Ishak Ad-Dinari (w. 318 H), Muhammad bin bahr Ash-Ashbahani (w. 322 H), Hibatullah bin Salamah (w. 410 H), Muhammad bin Musa Al-hazimi (w. 584 H), dan Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H). Buku-buku Nasikh Mansukh yang tenar antara lain; Al-I’tibar fi An-Naskh wa Al-Mansukh min Al-Atsar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi, An-Nasikh wa Al-Mansukh karya Imam Ahmad, dan Tajrid Al-Ahadits Al-Mansukhah karya Ibnu Al-Jauzi.

7.      ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat
            ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat adalah:

علم يعرف به المبهم الذي وقع في المتن او في السند
Artinya:
            “Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut namanya di dalam matan adau di dalam sanad.”
            Misalnya dalam hadits banyak didapatkan hanya disebutkan seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. demikian juga dalam sanad disebutkan dari seorang laki-laki meriwayatkan dan seterusnya. Ibnu hajar Al-Asqalani menjelaskan nama-nama para perawi yang belum disebutkan oleh Shahih Al-Bukhari dalam kitabnya Hidayat As-Sari Muqaddimah Fath Al-Bari.
            Tujuan ilmu ini mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-orang yang disebutkan dalam matan atau sanad hadits yang masih samar-samar atau tersembunnyi.
            Di antara ulama yang menyusun kitab ini adalah Al-Khathib Al-baghdadi yang kemudian diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawi dalam bukunya Al-Isyarat ila Bayani Asma Al-Mubhamat. Waliyuddin Al-Iraqi dengan karyanya Al-Mustafad min Mubhamat Al-Matan wa Al-Isnad, dan lain-lain.

8.      ‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
            Menurut istilah Asbab Al-Wurud Al-Hadits adalah:

علم يعرف به اسباب ورود الحديث ومناسباته
Artinya:
            “Ilmu yang menerangkan sebab-sebab datangnya hadits dan beberapa munasabahnya (latar belakangnya).”

علم يعرف به السبب الذي ورد لاجله الحديث والزمان الذي جاء فيه
Artinya:
            “Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi saw. menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi saw. menuturkan.”
           
            ‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits adalah ilmu yang menjelaskan tentang sebab-sebab datangnya hadits, latar belakang dan waktu terjadinya. Misalnya, datangnya suatu hadits karena Nabi ditanya oleh seorang sahabat tentang suatu masalah yang dianggap sulit baginya. Ilmu ini sangat penting untuk memahami makna yang terkandung dalam matan hadits secara kontekstual seperti halnya ‘Ilmu Asbab Nuzul Al-Qur’an (sebab-sebab turunny aAl-Qur’an) bagi pemahaman Al-Qur’an.
            Ilmu ini mempunyai kaitan erat dengan ilmu Tarikh Al-Matan dan mempunyai kaidah seperti ‘Ilmu Asbab Nuzul Al-Qur’an di atas.’Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits titik berat pembahasannya kepada latar belakang dan sebab lahirny hadits. Sedangkan ‘Ilmu tarikh Al-Matan, menitik beratkan pembahasannya pada kapan atau waktu apa hadits tersebut diwurudkan. Hal ini bermanfaat untuk keperluan nasikh-mansukh. Mengetahui peristiwa yang melatar belakangi wurudnya hadits sangat penting, sebab dapat membantu untuk memahami makna yang terkandung dalam hadits secara sempurna. Mengetahui sebab dapat mengetahui musabbab (akibat).
              Adapun manfaat mengetahui ‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits antara lain:
a.       Untuk memamahami dan menafsirkan hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadits tersebut atau mengetahui kekhususan konteks makna hadits.
b.      Mengetahui sebab-sebab dan latar belakang munculny suatu hadits, sehingga dapat mendukung dalam pengkajian makna hadits yang dikehendaki.
            Cara mengetahui sebab wurudnya hadits adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadits. Sebab-sebab wurudnya, ada yang sudah tercantum pada matan hadits lain. Dalam hal itu tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan dari para sahabat.
            Perintis ‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits adalah Abu Hamid Ibn Kaznah Al-Jubari dan Abu Hafsah ‘Umar Ibn Muhammad Ibn Raja’ Al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad Al-Husaini (w. 1120 H). Ulama pertama yang menulis ilmu ini adalah Abu Hafsah Umar bin Muhammad bin Raja Al-Ukrabi (w. 309 H), dan yang menulis Al-Bayan wa At-Ta’rif, As-Suyuthi (w. 911 H) yang menulis Asbab Wurud Al-Hadits atau Al-Luma fi Asbab Wurud Al-Hadits, dan lain sebagainya. Adapun kitab yang berkaitan dengan itawarikh al-mutun adalah kitab Muhasin Al-Isthilah, susunan Siraj Al-Din Abu Hafsah ‘Amar Ibn Salar Al-Bulqini.

9.      ‘Ilmu Tashhif wa Tahrif
            ‘Ilmu Tashhif wa Tahrif adalah:
علم يعرف به ما صحف من الاحاديث وما حرف منها
Artinya:
            “Ilmu yang membahas hadits-hadits yang diubah titiknya (mushhaf) atau dirubah bentuknya (muharraf).”
            Misalnya kata:
 ابن مراحم           ditulis              ابن مراجم
 احتجر                         ditulis              احتجم               
            Tujuannya, mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadits dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi kesalahan terus menerus dalam penukilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasan dan ke-dhabit-an seorang perawi.
            Diantara kitab yang membicarakan tentang ilmu ini adalah kitab Ad-Daruquthni (w. 385 H) At-Tashhif li Ad-Daruquthni dan kitab Tashhifat Al-Muhadditsin ditulis oleh Abu Ahmad Al-Askari (w. 283 H), Ishlah Khatha’ Al-Muhadditsin ditulis oleh Al-Khathabi, dan lain-lain.

10.  ’Ilmu Mushthalah Al-Hadits
’Ilmu Mushthalah Al-Hadits adalah:
علم يبحث فيه عما اصطلح عليه المحدثون وتعارفوه فيما بينهم
Artinya:
            “Ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-istilah ahli hadits dan yang dikenal antara mereka.”
            Maksudnya ilmu ini membicarakan pengertian istilah-istilah yang dipergunakan ahli hadits dalam penelitian hadits dan disepakati mereka, sehingga menjadi populer di tengah-tengah mereka. Misalnya; sanad, matan, mukharrij, mutawatir ahad, shahih dha’if dan lain-lain.
            Tujuannya, memudahkan para pengkaji dan peneliti hadits dalam mempelajari dan riset hadits, karena para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan kegiatannya dengan mudah tanpa mengetahui istilah-istilah yang telah disepakati oleh para ulama.
            Di antara ulama yang menulis ilmu ini adalah Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) yang menulis Al-Muhaddits Al-Fashil Bayn Ar-Rawi wa Al-Wa’i, kemudian diikuti oleh yang lain seperti Al-Hakim An-Naisaburi (w. 430 H) yang menulis Ma’rifat ‘Ulum Al-Hadits dan Abu Nu’aim Al-Ashbahani (w. 430 H) Al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum Al-Hadits.



 BAB III
PENUTUP
            Dari penjelasan diatas, kami dapat menyimpulkan bahwa dari segi bahasa, ilmu hadits terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadits. Secara sederhana, ilmu artinya pengetahuan yang sistematis, knowledge, dan science, sedangkan hadits artinya sebagai berikut:

مَاجَاءَ عَنٍ النَّبِيِّ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَْمَ : سَوَاءٌ كَانَ قََوْلاً اَوْ فِعْلاً اَوْ تَقْرِيْرًا
Artinya:
            “Sesuatu yang datang dari Nabi saw baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan.”
            Kemudian ilmu hadits ini terbagi menjadi dua macam, yaitu Ilmu hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.


 RESUME

ILMU HADITS RIWAYAH DAN ILMU HADITS DIRAYAH

Tinjauan
Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Dirayah
Objek pembahasan
Segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.
Hakikat, sifat-sifat dan kaidah-kaidah dalam periwayatan
Pendiri
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w. 124 H)
Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H)
Tujuan
Memelihara syari’ah Islam dan otentisitas Sunnah
Meneliti hadits berdasarkan kaidah-kaidah atau persyaratan dalam periwayatan.
Faedah
Menjauhi kesalahan dalam periwayatan
Mengetahui periwayatan yang diterima (maqbul) dan yang tertolak (mardud)

Cabang-cabang Ilmu Hadits
1.      Ilmu Rijal Al-Hadits
2.      Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
3.      ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
4.      ‘Ilmu Gharib Al-Hadits
5.      ‘Ilmu Muhtalif Al-Hadits
6.      ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh
7.      ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat
8.      ‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
9.      ‘Ilmu Tashhif wa Tahrif
10.  ’Ilmu Mushthalah Al-Hadits


DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Cet. Ke-3. Jakarta: Amzah.
Sutari, Endang. 2008. Ilmu Hadits. Cet. Ke-5. Bandung: Mimbar Pustaka.
http://amarfasyni.blogspot.com/2013/02/makalah-ulumul-hadits.html

 



0 komentar:

MP3

Visit my YouTube

Followers

Total tayang halaman

My visitors

Flag Counter

Popular Posts

Blog Archive