AL-AHWAL
DEFINISI DAN BAGIAN-BAGIANNYA
(oleh : Amar Fasyni)
Ahwal adalah bentuk jama’ dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai
keadaan mental atau mental states yang di alami para sufi di sela-sela
perjalanan spiritualnya. Ibnu Arabi menyebutkan hal sebagai sifat yang dimiliki
seorang salik pada suata waktu dan tidak
pada waktu yang lain,seperti kemabukkan dan fana. Eksisitensinya bergantung pada
sebuah kondisi, ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal
tidak dapat dilihat dan di pahami tetapi dapat dirasakan oleh orang yang
mengalaminya dan karena nya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata. Ahwal sering
di peroleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi
mengatakan bahwa hal adalah anugerah.
Beberapa ulama mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam dan
tidak mengikat atau dinamis. Al-Ghazali yang memberi pandangan yang menyatakan
bahwa apabila seseorang telah mantap dan menetap dalam suatu maqom ia akan
memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah hal.
Mengenai hal ini, ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat di
bagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada
emas dan warna kuning yang dapat berubah
seperti pada sakit kuning. Seperti itulah kondisi atau hal seseorang, kondisi
atau sifat yang tetap di namakan maqom sedangkan yang sifatnya berubah
dinamakan hal.menurut Syihabuddin rawardi
seseorang tidak mungkin naik ke maqom yang lebih tinggi sebelum
memperbaikki maqom yang sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik dari maqom
yang lebih tinggi turun lah hal yang dengan itu maqom nya menjadi kenyataan.
Oleh karena itu, kenaikkan seorang salik dari satu maqom ke maqom berikutnya di
sebabkan oleh kekuasaan Allah dan anugerah-Nya, bukan di sebabkan oleh usahanya
sendiri. Hal terdiri dari beberapa macam, diantara macam-macam hal yaitu :
muroqobah,khauf, roja’, syauq, mahabbah,
tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
MUROQOBAH
Muraqabah merupakan salah satu
sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Karena dengan muraqabah inilah,
seseorang dapat menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dimanapun ia berada,
hingga mampu mengantarkannya pada derajat seorang mu’min sejati. Demikian pula
sebaliknya, tanpa adanya sikap seperti ini, akan membawa seseorang pada jurang
kemaksiatan kepada Allah kendatipun ilmu dan kedudukan yang dimilikinya. Inilah
urgensi sikap muraqabah dalam kehidupan muslim.
Pernah suatu
ketika, seorang istri yang lama ditinggal pergi suaminya; bersya’ir pada tengah
malam, yang kebetulan di dengar oleh Umar bin Khatab ra. Ia mengutarakan kegundahan
hatinya yang ‘kesepian’ karena tiada suami yang mendampinginya. Ia mengatakan:
لقد طال هذا الليل واسود
وأرقني ألا خليل الأعبه فوالله لو لا الله تخشى عواقبه لحرك من هذا السرير
جوانبه
Sungguh
terasa teramat panjangnya malam ini, juga teramat sunyi. Lebih membuatku gundah lagi,
tiada suami yang mencumbuiku. Namun
demi Allah, sekiranya bukan karena takut terhadap Allah.
Pasti ranjang ini telah bergetar karena kemaksiatan.
Demikianlah,
karena merasa bahwa Allah akan mengetahuinya jika ia melakukan perbuatan
maksiat, dan juga karena takut terhadap azab Allah, ia pun menjauhkan diri dari
perbuatan maksiat, kendatipun ia tengah ‘kesepian’ ditinggal sang suami.
Dari
sinilah, kita dapat membayangkan sekiranya seluruh pemimpin, pejabat, ulama,
karyawan dan seluruh kaum muslimin dapat memberikan sikap seperti ini dalam
diri mereka, tentulah akan tercipta kehidupan yang adil, makmur, sederhana dan
diridhai Allah SWT, sebagaimana pada masa Rasulullah SAW, khulafa’urrasyidin,
Umar bin Abdul Aziz dan lain sebagainya.
Makna Muraqabah
- Dari segi bahasa muraqabah berarti pengawasan dan pantauan. Karena sikap muraqabah ini mencerminkan adanya pengawasan dan pemantauan Allah terhadap dirinya.
- Adapun dari segi istilah, muraqabah adalah, suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun.
- Syekh Ibrahim bin Khawas mengatakan, bahwa muraqabah “adalah bersihnya segala amalan, baik yang sembunyi-sembunyi atau yang terang-terangan hanya kepada Allah.” Beliau mengemukakan hal seperti ini karena konsekwensi sifat muraqabah adalah berperilaku baik dan bersih hanya karena Allah, dimanapun dan kapanpun.
Salah seorang ulama juga mengungkapkan bahwa muraqabah
ini merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah dengan pemahaman sifat
“Arraqib, Al-Alim, Assami’ dan Al-Bashir” pada Allah SWT.
Maka barang siapa yang memahami Sifat Allah ini dan beribadah atas dasar
konsekwensi Sifat-sifat-Nya ini; akan terwujud dalam dirinya sifat muraqabah.
Pada intinya, sikap ini mencerminkan
keimanan kepada Allah yang besar, hingga menyadari dengan sepenuh hati, tanpa
keraguan, tanpa kebimbangan, bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap
gerak-geriknya, setiap langkahnya, setiap pandangannya, setiap pendengarannya,
setiap yang terlintas dalam hatinya, bahkan setiap keinginannya yang belum
terlintas dalam dirinya. Sehingga dari sifat ini, akan muncul
pengamalan yang maksimal dalam beribadah kepada Allah SWT, dimanapun ia berada,
atau kapanpun ia beramal dalam kondisi seorang diri, ataupun ketika berada di
tengah-tengah keramaian orang.
Urgensi Sifat Muraqabah
1. Suatu hal yang sudah pasti dari adanya sifat seperti ini
adalah optimalnya ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari
kemaksiatan. Karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat dan
mengawasinya. Abdullah bin Dinar mengemukakan, bahwa suatu ketika
saya pergi bersama Umar bin
Khattab ra, menuju Mekah. Ketika kami
sedang beristirahat, tiba-tiba muncul seorang penggembala menuruni lereng
gunung menuju kami. Umar berkata kepada penembala: “Hai pengembala, juallah
seekor kambingmu kepada saya.” Ia menjawab, “Tidak !, saya ini seorang budak.”
Umar menimpali lagi, “Katakan saja kepada tuanmu bahwa dombanya diterkam
serigala.” Pengembala mengatakan lagi, “kalau begitu, dimanakah Allah?”
Mendengar jawaban seperti itu, Umar menangis. Kemudian Umar mengajaknya pergi
ke tuannya lalu dimerdekakannya. Umar mengatakan pada pengembala tersebut,
“Kamu telah dimerdekakan di dunia oleh ucapanmu dan semoga ucapan itu bisa
memerdekakanmu di akhirat kelak.” Pengembala
ini sangat meyadari bahwa Allah memahami dan mengetahuinya, sehingga ia dapat
mengontrol segala perilakunya. Ia takut melakukan perbuatan kemaksiatan,
kendatipun hal tersebut sangat memungkinkannya. Karena tiada orang yang akan
mengadukannya pada tuannya, jika ia berbohong dan menjual dombanya tersebut.
Namun hal tersebut tidak dilakukannya.
2. Urgensi lainnya dari sifat muraqabah ini adalah rasa
kedekatan kepada Allah SWT. Dalam al-Qur’anpun Allah pernah mengatakan, “Dan
Kami lebih dekat padanya dari pada urat lehernya sendiri.” Sehingga dari
sini pula akan timbul kecintaan yang membara untuk bertemu dengan-Nya. Ia pun
akan memandang dunia hanya sebagai ladang untuk memetik hasilnya di akhirat,
untuk bertemu dengan Sang Kekasih, yaitu Allah SWT. Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW mengatakan :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من احب لقاء الله احب الله, لقاءه ومن كره
لقاء الله كره الله لقاءه
“Barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah, maka
Allah pun akan merindukan pertemuannya dengan diri-Nya. Dan barang siapa yang
tidak menyukai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak menyukai pertemuan
dengannya” (HR. Bukhari).
Dan rasa rindu seperti ini tidak akan muncul kecuali dari adanya sifat muraqabah.
3. Sesorang yang bermuraqabah kepada
Allah, akan memiliki ‘firasat’ yang benar. Al-Imam al-Kirmani mengatakan, “Barang siapa yang memakmurkan dirinya
secara dzahir dengan ittiba’ sunnah, secara batin dengan muraqabah, menjaga
dirinya dari syahwat, manundukkan dirinya dari keharaman, dan membiasakan diri
mengkonsumsi makanan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.”
(Ighatsatul Lahfan, juz I/ 48)
4. Muraqabah merupakan sunnah perintah Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits beliau mengatakan:
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan perbuatan buruk
tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi)
Macam-macam Sifat Muraqabah
Syeikh Dr. Abdullah Nasih Ulwan mengemukakan dalam ‘Tarbiyah Ruhiyah; Petunjuk Praktis Mencapai Derajat
Taqwa’ ; ada empat macam bentuk muraqabah, yaitu:
- Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah SWT, dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan segala perintah-Nya Seperti benar-benar menfokuskan tujuan amal ibadahnya hanya kepada Allah dan karena Allah, dan bukan karena faktor-faktor lainnya. Karena ia menyadari bahwa Allah Maha mengetahui segala niatan amalnya yang tersembunyi di balik relung-relung hatinya yang paling dalam sekalipun. Sehingga ia mampu beribadah secara maksimal, baik ketika sendirian ataupun di tengah-tengah keramaian.
- Muraqabah dalam kemaksiatan, dengan menjauhi perbuatan maksiat, bertaubat, menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya dan lain sebagainya. Sikap seperti berangkat dari keyakinannya bahwa Allah mengetahuinya, dan Allah tidak menyukai hamba-Nya yang melakukan perbuatan maksiat. Sekiranya pun ia telah melakukan maksiat, ia akan bertaubat dengan sepenuh hati kepada Allah dengan penyesalan yang mendalam, karena Allah akan murka pada dirinya dengan kemaksiatannya itu.
- Muraqabah dalam hal-hal yang bersifat mubah, seprti menjaga adab-adab terhadap Allah, bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan-Nya pada kita, bermuamalah yang baik kepada setiap insan, jujur, amanah, tanggung jawab, lemah lembut, perhatian, sederhana, ulet, berani dan lain sebagainya. Sehingga seorang muslim akan tampil dengan kepribadian yang menyenangkan terhadap setiap orang yang dijumpainya. Dan jadilah ia sebagai seorang dai yang disukai umatnya.
- Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu dengan ridha pada ketentuan Allah SWT serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran. Ia yakin bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang datang dari Allah dan menjadi hal yang terbaik bagi dirinya, dan oleh karenanya ia akan bersabar terhadap sesuatu yang menimpanya.
Sikap Muraqabah Dalam Al-Qur’an
Jika diperhatikan dalam al-Qur’an, akan dijumpai banyak
sekali ayat-ayat yang menggambarkan mengenai sikap muraqabah ini, dalam artian
bahwa Allah senantiasa mengetahui segala gerak-gerik, tingkah laku,
guratan-guratan dalam hati dan lain sebagainya. Sehingga benar-benar tiada
tempat untuk berlari bagi esan dari pengetahuan Allah SWT. Sebagai contoh Allah
mengatakan dalam al-Qur’an:
1. Pengetahuan Allah tentang apa
yang ada dalam hati kita (QS. 2: 284):
يحاسبكم به الله
فيغفر لمن يشاء و يعذب من يشاء والله على كل ثيء قدير
“Kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu
menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya;
dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Dalam
ayat lain, Allah mengatakan: (QS. 3: 29)
قل ان تخفوا ما في صدوركم أو تبدوه يعلمه الله ما في السماوات
وما في الارض واالله على كل شيء قدير
“Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada
dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya." Allah
mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
2. Pengetahuan Allah tentang setiap gerak-gerik kita, hingga
dalam sujud sekalipun. (QS. 26: 218-220) “Yang melihat kamu ketika kamu
berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di
antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.”
Dalam ayat lain Allah mengatakan, (QS. 40:19)
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
disembunyikan oleh hati.”
3. Kebersamaan Allah dengan diri kita. (QS. 57: 4) :
“Dan Dia bersama kamu
di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
4. Pengetahuan Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui makhluknya Allah berfirman dalam QS. 2: 30
انى أعلم ما لا تعلمون
" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
5. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada dihadapan manusia maupun dibelakangnya
Allah berfirman, QS. 2: 255:
وما بين ايديهم وما خمفهم ولا
يحيطون بشيء من علمه الا بما شاء
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di
belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan
apa yang dikehendaki-Nya.”
Muraqabah Dalam Hadits
Dalam haditspun banyak sekali dijumpai hal-hal yang berkaitan
dengan muraqabah yang dikemukakan Rasulullah SAW, diantaranya adalah:
1. Sikap muraqabatullah membawa seorang insan memiliki
derajat ihsan. Sedangkan derajat ihsan merupakan derajat yang tinggi di
sisi Allah SWT. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dalam
Shahihnya:
“…Jibril bertanya, beritahukanlah kepadaku apa itu ihsan?’
Rasulullah SAW menjawab, ‘Bahwa ihasan adalah engkau menyembah Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekiranyapun engkau tidak (dapat) melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu…” (HR. Muslim)
2. Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk bertaqwa
kepada Allah SWT dimanapun kita berada. Sedangkan ketaqwaan tidak akan lahir
tanpa adanya muraqabatullah. Rasulullah SAW mengatakan:
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan perbuatan buruk
tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi)
2. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita tentang cara untuk
dapat menghadirkan sikap muraqabatullah.
Dalam hadits beliau mengatakan:
“Dari Ibnu Abas ra, berkata; pada suatu hari saya berada di
belakang Nabi Muhammad SAW, lalu beliau berkata, “Wahai ghulam, peliharalah
(perintah) Allah, niscaya Allah akan memeliharamu. Dan peliharalah (larangan)
Allah, niscaya niscaya kamu dapati Allah selalu berada di hadapanmu.” (HR.
Tirmidzi)
3. Tanpa adanya muraqabah, seseorang memiliki prosentase jatuh
pada kemaksiatan lebih besar.
Padahal jika seseorang berbua maksiat, Allah sangat
cemburu padanya. Dalam sebuah hadits digambarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘sesungguhnya
Allah SWT cemburu. Dan kecemburuan Allah terjadi jika seorang hamba mendatangi
(melakukan) sesuatu yang telah diharamkan baginuya’ (HR. Bukhari)
5. Dengan muraqabah seseorang akan sadar untuk beramal guna
kehidupan akhiratnya. Dan hal seperti
ini dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai seseorang yang memiliki akal yang
sempurna (cerdas). Dalam hadits dikatakan:
“Orang yang sempurna akalnya adalah yang mennudukkan jiwanya
dan beramal untuk bekal kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah
(akalnya) adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, di samping itu ia
mengharapkan angan-angan kepada Allah SWT.” (HR. Tirmidzi)
6. Muraqabah juga akan membawa seseorang untuk meninggalkan
suatu perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘diantara
kesempurnaan iman seseorang adalah, meninggalkan suatu pekerjaan yang tidak
menjadi kepentingannya.” (HR. Tirmidzi)
Cara Untuk Menumbuhkan Sifat Muraqabah
terdapat
beberapa cara untuk dapat menumbuh suburkan sikap muraqabah ini, diantara
caranya adalah:
- Memupuk keimanan kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, karena iman merupakan pondasi yang paling dasar untuk menumbuhkan sikap seperti ini. Tanpa adanya keimanan, muraqabah tidak akan pernah muncul. Ada beberapa cara yang dapat memupuk keimanan kepada Allah:
- Merenungi ayat-ayat kauniyah (ciptaan Allah SWT) melalui tadabur (baca; perenungan) alam, bahwa ciptaan yang demikian sempurna ini, pastilah dimiliki oleh Dzat yang Maha Sempurna, yang mengetahui hingga sesuatu yang terkecil dari ciptaan-Nya.
- Merenungi ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an), dengan mentadaburinya ayat per ayat secara perlahan, dan hal ini juga akan menumbuhkan keimanan kepada Allah SWT.
- Melatih diri untuk ‘menjaga’ perintah dan larangan Allah SWT, dimanapun dan kapanmu ia berada, karena hal ini akan menumbuhkan sikap muraqabah dalam jiwa kita. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: Dari Ibnu Abas ra, berkata; pada suatu hari saya berada di belakang Nabi Muhammad SAW, lalu beliau berkata, “Wahai ghulam, peliharalah (perintah) Allah, niscaya Allah akan memeliharamu. Dan peliharalah (larangan) Allah, niscaya niscaya kamu dapati Allah selalu berada di hadapanmu.” (HR. Tirmidzi)
- Muraqabah juga dapat tumbuh dari adanya ‘ziarah qubur’, dengan tujuan bahwa kita semua pasti akan mati dan memasuki kuburan, tanpa teman, tanpa saudara dan tanpa keluarga. Hanya amal kitalah yang akan menemani diri kita. Dan apakah kita telah siap untuk menghadap-Nya?
- Memperbanyak amalan-amalan sunnah, seperti dzikrullah, shalat sunnah, tilawah al-Qur’an dan lain sebagainya. Amalan-amalan seperti ini akan menumbuhkan rasa ketenangan dalam hati. Dan rasa ketenangan ini merupakan bekal pokok untuk menumbuhkan muraqabah.
- Merenungi kehidupan salaf shaleh dalam muraqabah, rasa takut mereka terhadap azab Allah yang sangat luar biasa, dan lain sebagainya. Untuk kemudian dibandingkan dengan diri kita sendiri; apakah kita sudah dapat seperti mereka, ataukah masih jauh?
- Bersahabat dengan orang-orang shaleh yang memilki rasa takut kepada Allah. Dengan persahatan insya Allah akan menimbulkan pengaruh positif pada diri kita untuk turut memiliki rasa takut kepada Allah sebagaimana sahabat kita.
- Memperbanyak menangis (karena Allah), dan meminimalisir tertawa, terutama karena senda gurau. Karena jiwa yang banyak tertawa, akan sulit untuk dapat merenungi dan mentadaburi ayat-ayat Allah. Dan jiwa yang terisi dengan keimanan yang membara memunculkan sikap tenang dan tawadhu’.
KHAUF
Khauf
(rasa takut kepada Allah) adalah cambuk Allah swt untuk menggiring
hamba-hambaNya menuju ilmu dan amal agar mereka mendapatkan kedekatan dengan
Allah swt. Khauf inilah yang mencegah diri dari perbuatan maksiat dan
mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan.Rasa takut kepada Allah SWT yang
tertanam dalam diri setiap hamba adalah benih dari perjalanan sebuah proses
keimanan, dimana pokok-pokok ibadah telah dijalankan dengan baik dan
sempurna. Ada tiga pokok ibadah yang tidak boleh lepas apalagi ditinggalkan
oleh manusia dalam pengabdiannya kepada Sang khalik. Hati selalu berzikir,
lidah menyampaikan nasihat dan kebenaran dan tubuh sebagai pelaksana dari
amal-amal shalih untuk mencapai keridhaan dan menghadirkan cinta-Nya. Kekurangan Khauf akan
mengakibatkan kealpaan dan keberanian untuk berbuat dosa. Sebaliknya terlalu
berlebihan dalam Khauf akan menyebabkan putus asa-putus harapan. Khauf kepada Allah swt bisa lahir dari ma'rifah kepada Allah swt dan
ma'rifah kepada sifat-sifatNya. Khauf
bisa juga lahir dari perasan banyaknya dosa yang telah diperbuat oleh seorang
hamba. Juga terkadang Khauf lahir dari keduanya. Imam As-Sya'biy
pernah diseru "Hai 'alim (orang yang berilmu)!", beliau berkata,
"Sesungguhnya yang ‘alim itu hanyalah yang takut kepada Allah. Hal itu
karena Allah berfirman,"Hanya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya
adalah para ulama". (QS : Fathir : 28) Orang yang takut kepada Allah
swt bukanlah hanya orang yang menangis dan bercucuran air matanya. Tetapi ia
adalah orang yang meninggalkan perbuatan-perbuatan yang ia khawatirkan
hukumannya. Imam
Dzun Nun al-Mishriy pernah ditanya, "Kapankah seorang hamba itu takut
kepada Allah?" Ia menjawab, "Jika ia mendudukkan dirinya sebagai
orang sakit yang menahan diri(dari berbagai hal ) khawatir jika sakitnya
berkepanjangan." Imam
Abul Qasim al-Hakim bertutur, "Siapa yang takut terhadap sesuatu ia akan
lari darinya. Tetapi siapa yang takut kepada Allah ia justru lari untuk
mendekatinya." Imam Fudlail bin 'Iyadl
berujar,"Jika kamu ditanya, 'Apakah kamu takut kepada Allah?', maka
diamlah, jangan menjawab! Sebab jika kamu jawab 'ya', kamu telah berdusta.
Sedangkan jika kamu jawab 'tidak', maka kamu telah kafir!!!"Khauf akan
membakar syahwat yang diharamkan, sehingga kemaksiatan yang dulu disukai
menjadi di benci. Seperti
madu, orang yang suka pun menjadi tidak suka jika tahu madu itu mengandung
racun. Syahwat terbakar oleh khauf. Anggota badan pun jadi beradab.
Dan hati pun diliputi rasa khusyu' dan tenang, jauh dari kesombongan, iri, dan dengki. Bahkan ia mampu menguasai segala kegundahan dan tahu bahayanya. Maka ia tidak pernah pindah kepada selainNya. Tiada lagi kesibukannya selain usaha mendekatkan diri , muhasabah, mujahadah, dan memperhitungkan setiap desah nafas dan waktunya. Ia selalu waspada terhadap segala pikiran, langkah, dan kalimat yang keluar dari dirinya. Keadaannya seperti dalam cengkeraman binatang buas. Ia tidak tahu apakah binatang itu lengah sehingga ia bisa melepaskan diri, atau sebaliknya ia justru menerkamnya maka hancurlah ia. Lahir dan batinnya disibukkan oleh sesuatu yang ia takutkan, tidak ada tempat bagi yang lain disana. Beginilah keadaan orang yang diliputi khauf
Keutamaan Khauf
Allah swt menyediakan petunjuk, rahmat, ilmu, dan
keridhoan bagi hamba yang khauf kepadaNya.
Allah berfirman (yang artinya), "Petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada Rabb mereka (QS. Al-A'raf : 156) Allah berfirman (yang artinya): "Allah ridla terhadap mereka dan mereka pun ridla kepadaNya. Demikian itu bagi siapa saja yang takut kepada RabbNya (QS. Al-Bayyinah:8) Allah memerintahkan khauf , dan menjadikannya syarat iman. Dalam firman-Nya "Dan takutlah kalian kepadaKu, jika kalian benar-benar beriman.! (QS. Ali Imran: 175). Imam Yahya bin Mu'adz berkata, "Jika seorang mukmin melakukan suatu kemaksiatan, ia pasti menindaklanjutinya dengan salah satu dari dua hal yang akan menghantarkannya ke surga; takut akan siksa dan harapan akan ampunan." Imam Tirmidziy meriwayatkan, Sayyidah 'Aisyah berkata," Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ini, apakah yang dimaksud disini orang-orang yang minum arak, berzina dan mencuri?" Rasulullah saw menjawab, "Bukan begitu, wahai putri as-Shiddiq. Tetapi mereka orang-orang yang berpuasa, sholat, dan bersedekah. Mereka takut jika amalannya tidak diterima. Merekalah yang bersegera dalam kebaikan." Imam Abdullah bin as-Syikhir meriwayatkan bahwa Rasulullah saw jika memulai sholat terdenagrlah dari dada beliau gemuruh seperti suara air yang mendidih dalam bejana. Siapapun yang mencermati kehidupan para sahabat dan para salafus-sholih pasti akan mendapati betapa mereka berada di puncak khauf. Adapun kita benar-benar lalai, alpa, dan merasa aman dari adzab. Sayyiduna Abu Bakr as-Shiddiq berkata, "Duhai, seandainya aku adalah sehelai rambut yang tumbuh di tubuh seorang mukmin." Adalah beliau bila berdiri sholat, tak ubahnya seperti sebatang kayu (tidak bergerak) karena takut kepada Allah swt. Sayyiduna Umar bin Khatthab pernah membaca surat at-Thuur. Ketika sampai pada ayat:"Sungguh, adzab Rabbmu pasti benar-benar terjadi”. (QS Ath-Thuur : 7) Beliau menangis dan semakin menghebat tangis beliau sampai beliau sakit, dan orang-orang pun menjenguk beliau. Beliau pernah jatuh pingsan karena takut kepada Allah ketika mendengar bacaan suatu ayat al-Quran. Pada suatu hari dia mengambil sebatang jerami kemudian berkata, "Aduhai, alangkah baiknya jika aku menjadi jerami dan tidak menjadi sesuatu yang disebut. Aduhai, alangkah baiknya jika dulu ibuku tidak melahirkanku." Beliau menangis terisak-isak sehingga air mata membasahi pipinya. Itulah yang menyebabkan ada garis bekas tetesan air mata pada wajah khalifah kedua tersebut. Kepadanya Sahabat Abdullah bin 'Abbas pernah berkata, " Allah telah meramaikan berbagai kota dan membukakan berbagai negeri dengan tanganmu." Mendengar itu Sayyiduna Umar berkata, "Aku ingin kalau bisa meninggalkan dunia ini tanpa pahala dan tanpa dosa." Suatu pagi, seusai melaksanakan sholat shubuh, dengan berwajah susah dan membolak-balikkan telapak tangannya, Sayyiduna 'Ali bin Abu Thalib berkata, "Sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi. Pada hari ini aku tidak melihat sesuatu pun yang nenyerupai mereka. Di pagi hari mereka nampak kusut, pucat dan berdebu. Diantara dua mata mereka seperti ada lutut kambing. Mereka menghabiskan malam dengan bersujud dan berdiri membaca ayat-ayat Allah swt. Gerakan mereka hanyalah antara kening dan kaki. Bila pagi tiba mereka pun berdzikir kepada Allah swt, bergemuruh seperti pepohonan tertiup angin yang kencang. Mata mereka bercucuran air mata sampai pakaian mereka basah karenanya. Demi Allah hari-hari ini sepertinya aku menghabiskan malam bersama kaum ini dalam keadaan lalai." Lantas beliau berdiri dan sejak itu beliau tidak pernah terlihat tertawa sampai dibunuh oleh Ibnu Muljam. Imam Musa bin Mas'ud berkisah, "Ketika kami duduk dengan Imam Sufyan ats-Tsauriy, seakan-akan neraka ada di sekitar kami. Yang demikian itu karena kami melihat beapa takut dan khawatirnya ia". Seseorang menggambarkan keadaan Imam Hasan al-Bashriy, "jika ia datang, seakan-akan ia datang dari menguburkan teman karibnya. Jika ia duduk, seakan-akan ia adalah seorang tawanan yang akan dipenggal lehernya. Jika berbicara tentang neraka, seakan-akan neraka itu hanya diciptakan untuknya". Imam Zurarah bin Abu Aufa pernah mengimami orang-orang sholat shubuh. Beliau membaca surat al-Muddatstsir. Ketika sampai pada ayat :" apabila sangkakala telah ditiup. Hari itulah hari yang teramat susah. (QS. Al-Muddatstsir :8-9) Beliau terisak-isak dan lalu meninggal dunia. Sahabat Abdullah bin Amr bin 'Ash bertutur, "Menangislah! Jika tidak bisa maka usahakan untuk menangis. Demi Allah, jika salah seorang di antara kalian benar-benar mengerti, pastilah ia akan berteriak sekeras-kerasnya sampai hilang suaranya, dan akan sholat sampai patah tulang punggungnya". 7 Indikasi Orang Yang Takut kepada Allah
Orang
mukmin yang sejati ialah orang yang takut kepada Allah swt. dengan seluruh
organ dan anggota tubuhnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Abu Laits,
bahwa takut kepada Allah dapat dilihat indikasinya dalam tujuh hal berikut
ini:
1.
Lidahnya:
Orang yang takut kepada Allah swt., selalu berusaha mencegah lidahnya dari
berbohong, menggunjing, mengadu domba, membuat dan mengobral perkataan yang
tidak berguna. Ia akan menjadikan lidahnya sibuk untuk selalu dzikir kepada
Allah swt., membaca Al-Qur'an, berdiskusi dan mengkaji ilmu.
2.
. Hatinya:
Orang yang takut kepada Allah swt., akan selalu mengeluarkan rasa permusuhan,
kebohongan, dan kedengkian dari dalam hatinya karena kedengkian itu dapat
merusak kebaikan.
3.
Penglihatannya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan
melihat pada yang haram, baik mengenai makanan, minuman, pakaian dan lain
sebagainya. Dia tidak memandang dunia dengan nafsu ambisi dan keinginannya,
tetapi dia memandangnya untuk mengambil pelajaran dan ibrah. Dia tidak
memandang pada sesuatu yang tidak halal dilihat olehnya.
4.
Perutnya:
Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan memasukkan makanan yang haram
ke dalam perutnya, karena yang demikian itu adalah dosa yang besar.
5.
Tangannya:
Orang yang takut kepada Allah swt., tidak mau menerima sesuatu yang haram,
tetapi selalu berusaha untuk menggapai dan meraih yang mengandung unsur
ketaatan dan dapat mendekatkan diri kepada Allah swt
6.
Kedua
Kakinya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan melangkahkan kakinya
untuk berjalan dalam kemaksiatan kepada Allah swt. Tetapi kakinya digunakan
berjalan dalam ketaatan kepada Allah swt., untuk mencari keridhaan-Nya, untuk
berjalan ke arah kebaikan, bergaul bersama ulama dan orang-orang yang shaleh.
7.
Ketaatannya:
Orang yang takut kepada Allah swt., selalu mengorientasikan segala aktivitas
ketaatan dan keshalehannya hanya untuk mencari keridhaan Allah swt., menjauhi
sifat riya' dan kemunafikan.
|
||
RAJA’
Raja’ berarti harapan. Maksudnya
adalah mengharap ridha Allah SWT. Raja’ termasuk akhlak yang terpuji yaitu
suatu akhlak yang dapat berguna untuk mempertebal iman dan taqwa kepada Allah
SWT.
Sebagai muslim dan muslimah
tentunya mengharapkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Supaya harapan tersebut
dapat tercapai maka harus menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala
larangan-larangan-Nya.dan tidak lupa untuk berdo’a. Dalam surat Al Mukmin (40)
ayat 60 dikatakan: Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagimu” (Q.S. Al Mukmin (40) : 60).
Seorang yang beriman kepada Allah
SWT tentunya memiliki sifat raja’. Dengan sifat raja’ tersebut maka akan
tercermin suatu sikap yang khusnudzon, berhaluan maju, dan berpikir yang
islami. Khusnudzon adalah sifat yang
terpuji yaitu sifat yang menunjukkan prasangka yang baik. Sifat kebalikannya
adalah su’udzan yaitu suatu prasangka buruk. Seseorang yang bersifat raja’ akan
selalu berprasangka baik terhadap Allah SWT, selalu optimis dalam hidup guna
meningkatkan kualitas hidup, berusaha sekuat tenaga untuk meraih yang
diinginkan, masalah hasil diserahkan kepada Allah SWT
Berhaluan maju artinya dalam hidup
dan kehidupan seorang muslim selalu dinamis, terus menerus dan sungguh-sungguh
dalam meningkatkan dan mengaktualkan kualitas diri. Kebalikan dari sifat
berhaluan maju ialah berhaluan mundur yaitu suatu sifat yang tercela dan
menghambat dalam kemajuan dan sangat merugikan. Seseorang yang berhaluan mundur
tidak kompetitif, sehingga yang ada adalah kemalasan yang menyebabkan tidak
berkualitas.
Berfikir yang Islami adalah suatu
sifat yang sehat dan terpuji, tajam dalam analisa dan berusaha untuk
menunjukkan kesalahan dan kekurangannya sesuai dengan Al Qur’an dan sunnah.
Dengan berpikir yang islami maka akan sangat terjauhkan dari hal-hal yang
bersifat kasar, menyakitkan hati, tempramen, mendengki dan bermusuh-musuhan.
Berpikir yang
Islami merupakan berpikir dalam rangka mencari ridho allah SWT, sehingga dengan
pemikiran tersebut dapat mengenali dirinya sendiri dengan menyadari bahwa hidup
ini tidak lain adalah untuk menyembah kepada Allah SWT yaitu dengan
melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.
(Baca surat Adzariyat ayat 56)
SYAUQ
Ajaran Tasawuf Syauq: yaitu
kerinduan hati untuk selalu terhubung dengan Allah dan senang bertemu dan
berdekatan denganNya ( Abu Abdullah bin Khafif ). Sebagian Ulama’ berkata: ”
Orang-orang yang Syauq merasakan manisnya kematian setelah dialami, sebab
terbuka tabir yang memisahkan antara dirinya dengan Allah.
MAHABBAH
kecenderungan
kepada Allah secara paripurna, mengutamakan urusan-Nya atas diri sendiri, jiwa
dan hartanya, sepakat kepada-Nya lahir dan batin, dengan menyadari kekurangan
diri sendiri (Syaikh alMuhasibiy). Rabi’ah berkata: “Orang yang mahabbah kepada
Allah itu tidak habis rintihan kepada-Nya sampai ia dipanggil ke sisiNya.
DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH
1. Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan
landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga
menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam
Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain
seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.[1]
a. Dalil-dalil
dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
1) QS. Al-Baqarah ayat
165
ومن الناس من
يتخذ من دون الله أندادا يحبونهم كحب الله
والذين ءامنوا أشد حبا لله ولو يرى الذين ظلموا اذ يرون العذاب أن القوة لله جميعا
وأن الله شديد العذاب
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka
kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).
2) QS. Al-Maidah ayat
54
يا
أيها الذين ءامنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتى الله بقوم يحبكم ويحبونه أذنة
على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لاءم ذلك
فضل الله يؤتيه من يشاء والله واسع عليم
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu
yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
3) QS. Ali Imran
ayat 31
قل
ان كنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله ويغفرلكم ذنوبكم والله غفور رحيم
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Dalil-dalil dalam
hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia
akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan
Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak
mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci
kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku
dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku
mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi
tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. …
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih
dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.
2. Dasar
Filosofis
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang
cinta(mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah
melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari
tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
a. Cinta tidak
akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan
pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang
telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan
kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu
atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia,
lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka
akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu
menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh
manusia. [2]
b. Cinta terwujud
sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan
seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai.
Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari
obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai
tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia
melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan
oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c. Manusia tentu
mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah
dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti
kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari
hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh
tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta[3]. Pada
gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta
sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah
sebagai berikut:
a. Cinta kepada
diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun
mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan
kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika
seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa
diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan
mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah
Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin
dalam ia mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada
Tuhan.
b. Cinta kepada orang
yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan
disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai
kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk
umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena
sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar
menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan
yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang
dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya.
Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal
itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa
menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan
kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang
berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri,
karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada
Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang
memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik
kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari
berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah
kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya
itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada
gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah
sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan
yang tak terhitung jumlahnya.
c. Mencintai
diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan per se juga merupakan
watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat
baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun
kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil,
tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima
langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan
korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami
langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta
terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam
semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan
Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang
pantas untuk dicintai.
d. Cinta kepada setiap
keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat
lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang
cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman
ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang.
Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul
menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan
batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada
keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan
sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung
pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan
rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang
betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala
sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari
betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e. Kesesuaian
dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan
timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa
akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman
dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang
sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara
keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul
cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena
memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena
ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta
kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah
bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah.
Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia
tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan
sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan
diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu,
kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu
hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang
mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa
orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah
dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian
tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang
betul-betul mengalami cinta ilahiah.
RABI’AH AL-ADAWIYAH: PERINTIS
TASAWUF CINTA
Sosok sufi
perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua
Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai
seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh
menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern
sekarang ini.
Corak
tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun
merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf
lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang
sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada
rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang
dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan
menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
Sedemikian
tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat,
misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan:“Tuhanku, sekiranya aku
beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api
jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu,
jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta
kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[4]
Saking besar
dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi
seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain
Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di
kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya
telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan
dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap
seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[5]
DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1. Makna Cinta di Kalangan
Sufi
Dalam
tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai
bentuk cinta kepada Tuhan.[6] Meski
demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada
sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada
dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang
persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian
sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan
al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan
manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan
rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari
sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam
dan menguat, maka ia dinamakan dendam.[7]
Menurut Abu
Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang
sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin
Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk
ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan.[8] Bagi
al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati
seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
2. Cinta Sejati adalah
Cinta kepada Allah
Bagi
al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan
kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam
mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang
terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu
karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai
orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri.
Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta
terhadap Allah.
Jika sudah
dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah
diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang
mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima
faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat
metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha
Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah
yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap
Allah.
3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana
diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilahmaqam (tingkatan)
dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut
as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk
kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia
ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah,
dan keterputusan (inqitha’)kepada Allah. Sedangkan hal adalah
apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati.
Sementara menurut al-Junaid,hal adalah suatu “tempat” yang berada
di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut
al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan
tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam
tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya
sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan
sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun
sebelum mahabbahselain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar
menuju ke arahmahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan
lain-lain. Cinta sebagaimaqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi.
Menurutnya, cinta merupakanmaqam ilahi.
Berbeda
dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbahmerupakan
termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah)merupakan
suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya
tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan
demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang
hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
4. Tingkatan Cinta
Dilihat dari
segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi
tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina
seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka.
Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan(zikir) yang
terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering
mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta
orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta
mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan,
keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah
“terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain
adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan
keinginan duniawi).
Ketiga, cinta
orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini
timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta
Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri,
sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta
tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala
sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan
menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada
Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini
adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai
pengganti sifat-sifatnya.
PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
Semenjak
Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau
dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi
tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu
menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih
“manusiawi”.
Pada
perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema
yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas
lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi
dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi
dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya
Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan
lain-lain.
Pada bidang
puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung
cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh,
Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer
masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah
yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.
MUSYAHADAH
MUSYAHADAH, yaitu hadirnya Al-Haq
tanpa dibayangkan. Apabila langit rahasia (sirri) telah bersih dari mega sitr,
maka matahari penyaksian terpancar dari bintang kemuliaan. Kebenaran Musyahadah seperti yang
diungkapkan oleh al-Junayd r.a “Wujud Al-Haq menyertai kesirnaanmu. Orang yang
bertahap Muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang
Mukasyafah terhampar oleh sifat-sifat-Nya, sedangkan orang yang Musyahadah
ditemukan Dzat-Nya. Orang yang muhadharah ditunjukkan akalnya. Orang yang
Mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musyahadah dihapuskan oleh
ma’rifatnya.
Amr bin Utsman al-Makky r.a
mengatakan bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi qolbunya, tanpa adanya tutup dan
faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana perkiraan dalam kilatan yang
bersambung. Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya, dan cahaya itu tidak
terputus,maka terjadilah cahaya siang. Begitupun qolbu, apabila keabadian
Tajalli tampak terus-menerus, akan menjadi siang yang nikmat, tiada malam sama
sekali.
Para sufi bersyair:
Malamku, dengan Wajah-Mu terang
benderang
Dan kegelapannya merambah manusia
Manusia berada dalam kegulitaan,
Sedang kami ada di cahaya benderang
siang
“Seorang hamba tidak sah ber- musyahadah
sepanjang masih hidup, Apabila subuh telah terbit tak perlu lagi lampu”
(An-Nury)
ketika terang subuh tiba, beredarlah
cahayanya, dengan cahayanya
cahaya-cahaya gemerlap bintang,
cahaya tertelan gelas,
jika saja tertimpa bara karena
menelannya
terbanglah secepat-cepatnya.
Mereka berjalan, namun tidak tetap,
tidak teratur dan tidak ada pengaruh.
YAQIN
Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin, Hakqqul Yaqin adalah tahapan dalam
pendirian seseorang dalam pandangan Musyahadahnya (penyaksiannya) kepada Allah
Swt.
Di dalam Ilmul Yaqin segala pengetahuan ilmu telah diliputi
dengan Ilmu Allah sehingga apapun amaliah maupun ubudiyah itu semua menunjukkan
dari pada lautan Ilmu Allah Ta’ala.
Di dalam Ainul Yaqin, tatkala
seseorang ‘arifiin’ telah melihat sesuatu amalaiah dan ubudiyah diliputi oleh
Ilmu Allah kemudian ia menyaksikan bahwa di dalam gerak dan diam (lelaku) itu
adalah saksi Hidupnya Allah Ta’ala yang menunjukkan adanya Allah Ta’ala sebagai
tujuan hidupnya. dengan Merasakan dan menyadari gerak dan diam, suara dan
perkataan itu adalah saksi hidupnya Allah Ta’ala maka sama halnya ia merasakan
dan menyadari kehadiran Allah Ta’ala dekat sekali dengan dirinya. “Bukan menghadirkan
Allah” akan tetapi menyadari bahwa “Allah senantiasa Maha Hadir atas dirinya
dan sekalian Alam meliputi tiap2 sesuatu”. “Wahuwa Ma’akum Ainama kuntum” (Dia
Allah serta kamu di mana kamu berada).
Haqqul Yaqin, adalah kemantapan dalam pendirian yang kokoh
setelah ia mengetahui kemudian ia melihat dengan penyaksian lalu kemudian
tertanam sedalam-dalamnya pada dirinya bahwa : “SEGALA SESUATU APAPUN YANG TERLIHAT,
TIDAK ADA YANG ADA MELAINKAN ILMU ALLAH TA’ALA, SEGALA SESUATU APAPUN YANG
TERDENGAR TIDAK ADA YANG ADA MELAINKAN KALAM ALLAH TA’ALA, DAN TIDAK ADA YANG
TERASA MAUPUN DIRASAKAN MELAINKAN SIRRULLAH (ZATULLAH)”.
Setelah semua perjalanan dan
tahapan itu misra/meresap pada diri, maka Allah akan JAZBAH dirinya sehingga
sampailah ia pada maqom “KAMALUL YAQIN”
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid
Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003).
Abu
al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu
Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung:
Pustaka, 1985).
Abu
Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl
at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,(Beirut, Dar
al-Ma’rifah, tt).
Al-Hujwairi, Kasyful
Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan,
1993).
Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973).
http://amarfasyni.blogspot.com/2013/02/al-ahwal-dalam-akhlak-tasawuf.html
http://amarfasyni.blogspot.com/2013/02/al-ahwal-dalam-akhlak-tasawuf.html
[1] Lihat kajian tentang sumber-sumber
tasawuf dan tudingan para orientalis, misalnya, dalam Abu al-Wafa al-Ghanimi
al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman,
Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’
Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 22-34.
[2]
Lihat,
penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa
asy-Syauq wa ar-Ridha,dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, , juz 4, hal. 296-300.
[3] Lihat, ibid., hal. 300-307
[4] Al-Taftazani., Sufi dari Zaman ke
Zaman., hal. 86
[5] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme
dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), hal. 74.
[6] Ibid., hal. 70.
[7] Al-Ghazali, Ihya., op. cit.., juz 4, hal. 296.
[8] Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary
dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 278-279.
0 komentar:
Posting Komentar