Al-Maqamat,
Pengertian dan Pembagiannya
(Oleh: Amar Fasyni)
A.
Pengertian Maqamat
Maqam arti dasarnya[1]
adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat
atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap
kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal'[2]
biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami
oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Maqam adalah kedudukan spiritual. Sebuah maqam diperoleh dan
dicapai melalui upaya dan ketulusan sang penempuh jalan spiritual. Namun,
perolehan ini sesungguhnya terjadi berkat rahmat Allah. Suatu kedudukan adalah
suatu kualitas jiwa yang “tetap”, yang berbeda dengan sifat sementara dari
suatu keadaan spiritual (hal). Manakala sang penempuh jalan spiritual (salik)
naik ke maqam yang lebih tinggi, dia tidak “meninggalkan” maqam yang lebih
rendah, melainkan melakukan perjalanan bersamanya. Ketika tercapai
kualitas-kuialitas terpuji yang
berkenaan dengan suatu kedudukan khusus, maka segenap kualitas itu
semakin kukuh dan mantap serta tetap bersamanya dalam kenaikannya yang tiada
henti.[3]
Maqamat dan Ahwal adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih
khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang
mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada
sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi
ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat
dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu
berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang
lainnya. Maqamat
adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi
berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat
bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang
harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) sebelum bisa mencapai
ujung perjalanan.
Maqomat juga berarti
kedudukan-kedudukan spiritual. Kedudukan-kedudukan ini adalah dasar dan asas
yang mesti ada guna mengaktualisasikan kesempurnaan manusia dan harus ditempuh
dalam perjalanan kembali kepada Allah. Maqomat adalah segenap perolehan
(makasib) melalui usaha spiritual (mujahadah). Orang-orang
sempurna telah melampaui kedudukan-kedudukan itu hingga mencapai kedudukan
paling tinggi, yakni “bukan kedudukan” (la maqom)[4].
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab
(etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepada-Nya dengan
berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas.
Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w.
378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang
diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan
hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan
spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata
kepada Allah.
Semakna dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri (w. 465 H) menyatakan bahwa
maqam adalah keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi
olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya
hingga ia mencapai kesempurnaannya. Jika diperhatikan beberapa pendapat
sufi diatas maka secara terminologis kesemuanya sepakat memahami Maqamat
bermakna kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh
melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan
latihan-latihan spiritual sehingga pada akhirnya ia dapat mencapai kesempurnaan[5].
B.
Pembagian Maqamat
Khusus tentang ahwal, mungkin sangat sukar membatasinya
dengan sejumlah ketentuan. Dalam salah satu teks awal sufi yang diakui, yaitu kitab
al-luma, Abu Nasr al-Sarraj menyebut satu demi satu sepuluh tingkatan jiwa
atau ahwal:
·
Pemusatan
diri (muraqabah);
·
Kehampiran (qurb);
·
Cinta (mahabbah);
·
Takut (khawf);
·
Harapan (raja’);
·
Rindu kerohanian (shawq);
·
Karib (uns);
·
Ketenangan (itmi’nan);
·
Perenungan (mushahadah); dan
·
Kepastian (yaqin)[6]
Sedangkan Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H)
berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama
adalah kesadaran (yaqzah), kedua adalah tafkir (berpikir) dan
yang ketiga adalah musyahadah. Sedangkan menurut al-Sarraj Maqamat
terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal
dan ridha[7].
Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika
maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat
dan ridha. At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat – Wara –
Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat. Al Kalabadhi (w. 990/5)
didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf”
menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya
– tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Namun dari salah satu perhitungan maqamat yang
paling awal dan asli dalam Tasawuf adalah Empat Puluh Maqamat dari guru Sufi
abad ke-11, yaitu Abu Sa’id bin Abi’I-Khayr, yang dikenal di Barat karena
rubai-rubai yang mempesona. Menurutnya, seorang Sufi harus memiliki empat puluh
pangkat (maqamat) jika penjelajahannya di jalan Tasawuf ingin diterima.[8]
Pangkat-pangkat tersebut adalah:
1. Niat (niyyat)
Sufi harus memiliki niat semacam itu supaya
apabila mendapat anugerah dunia ini serta berkat-berkat-nya dan di dunia lain
beserta surganya atau bahagia dan dukacitanya, ia akan memberikan dunia ini
serta bekatnya kepada orang-orang kafir, sedang dunia lain serta surganya
kepada mereka yang beriman dan menyimpan bahagia dan dukacitanya untuk dirinya
sendiri.
2. Penyesalan (inabat)
Jika pada waktu penarikan rohaniny (khalwat) ia
melihat Tuhan, perubahan di dunia ini tidak akan merubah rahasia batinnya dan
ketentraman yang dikirim dari Langit tidak akan menyebabkan burung cintanya
terbang jauh.
3. Tobat (tawbat)
Semua orang bertaubat karena melakukan
pekerjaan yang terlarang (haram) dan karena makan makanan haram supaya jangan
tersiksa oleh hukuman. Para Sufi bertaubat karena melakukan pekerjaan yang
halal dan karena makan makanan yang halal yang halal supaya tidak tergoda oleh apa
yang terlarang dan meragukan.
4. Kendali diri (iradat)
Semua orang mencari kesenangan dan engan itu
kekayaan dan berkat duniawi. Para Sufi mencari penderitaan dan dengannya
kedaulatan memerintah dan kesucian.
5. Perjuangan batin (mujahadat)
Orang
biasa berusaha melipatgandakan yang sepuluh menjadi dua puluh. Sufi mencoba
merubah yang dua puluh menjadi kosong.
6. Perenungan yang terus menerus (muraqabat)
Perhatian
yang terus menerus adalah untuk menjaga jiwa seseorang di dalam penarikan
rohaninya sehingga mendapat ketentuan dimana Tuhan Alam Semesta melindunginya
dari perbuatan dosa.
7. Sabar (sabr)
Jika bencana dua dunia menimpa mereka tak akan
begitu mempedulikannya. Dan jika cinta penduduk bumi menyerbu mereka maka
mereka tidak berhenti berjalan di jalan kesabaran.
8. Zikir (dhikr)
Dalam hati mereka mengenal-Nya dan dengan lidah
mereka menyeru-Nya. Dimanapun mereka buntu tak ada jalan untuk menyelamatkan
diri yang membawa mereka menuju Hadirat Tuhan.
9. Kepuasan (rida’)
Jika mereka dibiarkan tanpa kain (oleh Tuhan) mereka
berbahagia dan jika mereka dibiarkan lapar mereka bahagia. Mereka tak pernah
berada di rumah keingingan-diri (nafsu).
10. Melawan hawa nafsu badani (mukhalafat-inafs)
Selama tujuh puluh tahun nafsu jasmani mereka
menjerit pedih ingin mendapatkan karunia semata-mata dan tidak menerima apapun
kecuali kepedihan dan kesukaran.
11. Mufakat (muwafaqat)
Bencana dan kesejahteraan, karunia dan
kepentingan pribadi adalah sama bagi mereka.
12. Penyerahan (taslim)
Jika panah nasib terarah kepada mereka dari
tempat yang tenteram yang tersembunyi maka mereka menempatkan dirinya di dalam
ali-ali penyerahan dan membuka diri di hadapan panah nasib, menjadikan jiwa dan
hati mereka sebagai perisai di hadapannya. Di muka panah nasib mereka tegak
berdiri.
13. Percaya (tawakkul)
Mereka tidak menuntut sesuatu apapun dari
makhluk Tuhan atau dari Tuhan. Mereka memuja-Nya hanya demi Tuhan sendiri. Tak
ada tanya dan jawab. Sebagai hasilnya Tuhan Penguasa Alam member peluang kepada
mereka memerlukannya, dan tak ada perhitungan untung rugi.
14. Penyangkalan (zuhd)
Dari semua kekayaan dunia mereka hanya memiliki
jubah bertambal sulam terbuat dari robekan-robekan kain muslin, tikar
sembahyang dan peci. Jubah itu seribu kali lebih karib bagi mereka dibanding
kain merah yang halus dan pakaian yang serba mewah.
15. Berbakti kepada Tuhan (ibadat)
Sepanjang hari mereka duduk membaca Al-Quran
dan menyeru Nama Tuhan dan sepanjang malam mereka tetap tegak di atas kaki
mereka. Tubuh mereka diusahakan supaya melayani, hati mereka berlimpah cinta
kepada Yang Esa, kepala mereka bertalu-talu oleh damba akan Tuhan yang
direnunginya.
16. Rendah diri (wara’)
Mereka tidak makan makanan apapun, tak memakai
kain apapun. Mereka tidak ikut berkumpul dalam pergaulan sembarangan orang dan
mereka tidak memiliki persahabatan dengan siapapun kecuali Tuhan, terpujilah
ia.
17. Ketulusan (ikhlas)
Sepanjang malam mereka berdoa dan sepanjang
hari mereka berpuasa. Jika nafsu badani mereka akan menjual lima puluh tahun
kepatuhannya dengan minum seteguk air dan memberikan yang lima puluh tahun itu
kepada seekor anjing atau siapa saja yang dapat ia beri. Kemudian mereka akan
berkata, “O jiwa! Tidakkah sekarang kau sudah memahami bahwa apa yang telah kau
lakukan tidak berbuah karena Tuhan?”
18. Terpercaya (sidq)
Mereka tidak mengambil suatu langkah tanpa
terpercaya dan tidak menghela nafas kecuali di dalam kebenaran.
19. Takut (khawf)
Bila mereka menatap keadilan-Nya maka mereka
melelh ketakutan, dan mereka mentaati perintah Tuhan tanpa berharap sesuatu
apapun.
20. Peniadaan diri (fana)
Mereka melebur nafsu jasmani mereka di dalam
peniadaan diri dan menjadi hapus dari segala yang berada di bawah-Nya.
21. Harapan (raja)
Bila mereka menyeru karunia-Nya mereka
melakukannya penuh dengan kegembiraan, dan mereka tidak memiliki rasa takut dan
kekerasan.
22. Hidup kekal (baqa)
Jika mereka memandang ke kanan mereka lihat
Tuhan dan jika mereka memandang ke kiri mereka juga melihat Tuhan. Mereka
melihat-Nya di dalam keadaan apapun. Mereka hidup kekal di dalam kebaqaan-Nya.
23. Ilmu yakin (‘ilm al-yaqin)
Bila mereka memandang dengan mata ilmu yakin
maka mereka melihat dari langit yang tinggi ke bumi rendah tanpa suatu dinding
apapun.
24. Kebenaran yang diyakini (haqq al-yaqin)
Bila mereka memandang dengan mata yakin mereka
melampaui semua barang buatan dan makhluk-makhluk dan melihat Tuhan tanpa
bagaimana dan mengapa dan tanpa tirai apapun.
25. Pengenalan (ma’rifat)
Dalam semua makhluk dari dua dunia dan dalam
diri semua orang mereka melihat Tuhan, dan tak ada keluhan yang timbul karena
penglihatannya.
26. Ikhtiar (jahd)
Mereka memuja Tuhan dalam hati mereka dan dalam
jiwa mereka, dan tak ada keraguan dalam ketaatan menjalankan perintah-Nya.
27. Kesucian (wilayat)
Dunia ini dan yang akan datang tidak
sepantasnya dirangkul dengan kehendak batin mereka (himmit), dan semua surge
dan kemurahannya tidak berharga bagaikan sebutir zarrah di mata mereka.
28. Cinta (mahabbat)
Di seluruh dunia mereka hanya mempunyai satu
sahabat. Cinta mereka adalah satu, karena baik secara lahir maupun batin mereka
adalah bersama dengan Yang Satu.
29. Ekstase (wajd)
Mereka tidak dijumpai berada di dunia, atau di
kuburan atau di Hari Kebangkitan atau di jalan lurus (sirat). Mereka berada di
Hadirat Yang Paling Syahdu. Dimana mereka berada di situ hanya Tuhan dan
mereka.
30. Kehampiran (qurb)
Jika mereka berkata , “O, Tuhan! Berilah ampun
karena kami semua orang kafir serta mereka yang ingkar dan semua orang yang
menyembah banyak tuhan dan mereka yang menentang-Nya,” maka Tuhan Semesta Alam
tak akan menolak permohonan mereka.
31. Tepekur (tafakkur)
Teman akrab mereka adalah nama-Nya. Kedamaian
mereka berada di dalam pesan-Nya.
32. Persatuan (wisal)
Meskipun pribadi mereka berada di dunia, hati
mereka bersama Tuhan.
33. Tersingkapnya tirai (kashf)
Tak ada tirai pemisah antara Tuhan dan hati
mereka. Jika mereka menjenguk ke bawah mereka ingin melihat sejauh Gaw-mahi
(makhluk yang akan mengangkat bumi). Dan jika mereka memandang ke atas mereka
ingin melihat arsy dan kaki-Nya, Pena dan Lauhul Mahfudz.
34. Pelayanan (khidmat)
Mereka tak henti-hentinya memberi pelayanan
sekejap matapun. Tidak pula absen sedikitpun dari kehadiran Sahabatnya.
35. Bersih diri (tajrid)
Mereka tidak pernah berpaling dari
persahabatan-Nya dan mereka tidak memiliki segala hal yang ada di dunia ini.
36. Kesendirian (tafrid)
Di dunia ini mereka asing si antara
makhluk-makhluk. Jika mereka dipukul mereka tak akan meninggalkan jalan dan
jika mereka tak diindahkan mereka tidak akan menjadi tolol.
37. Perluasan (inbisat)
Mereka berani mati di depan Tuhan. Mereka tidak
takut kepada Nakir dan Munkar dan mereka tidak memikirkan kebangkitan.
38. Ketentuan tentang Yang Benar (tahqiq)
Mereka semua di dalam keadaan takjub dengan
jerit dan ratap. Mereka menjauh dari makhluk-makhluk dan tergantung oleh rantai
gapura-Nya.
39. Tujuan yang luhur (nihayat)
Mereka telah mencapai rumah penginapan di tepi
jalan dan telah putus dalam gurun ketentraman. Dengan mata hati mereka telah
melihat Tuhan.
40. Tasauf (tasawuf)
Sufi adalah ia yang telah bersih dari semua
keinginan. Kehidupan batinnya bersih dari kemalangan. Kata-katanya bebas dari
kelalaian, kealpaan dan fitnah. Pikirannya bersinar-sinar dan matanya mengelak
dari dunia. Ia telah mendapat petunjuk dari Yang Benar.
Jika kembali kepada sejarah, sebenarnya konsep
tentang Maqamat dan ahwal telah ada pada masa-masa awal Islam.
Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini adalah Ali Ibn Abi Thalib.
Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat hal:
kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Jumantoro,
Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo: Amzah, 2005.
Kartanegara,
Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006.
Amstrong, Amatullah,
Kunci Memasuki Dunia asawuf, Bandung: Mizan, 1996.
http://amarfasyni.blogspot.com/2013/02/al-maqamat-dalam-akhlak-tasawuf.html
http://amarfasyni.blogspot.com/2013/02/al-maqamat-dalam-akhlak-tasawuf.html
Bagir, Haidar, Buku
Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, 2006.
Sayyid Husein,
Nasr, Tasauf Dulu dan sekarang, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Bahri, Media
Zainul, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi,
Jakarta: Prenada Media, 2005.
[1] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo:
Amzah), 2005
[2] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga),
2006
[3] Amatullah Amstrong, Kunci Memasuki Dunia
asawuf, (Bandung: Mizan), hal 175
[4] Ibid.
[5] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan), 2006, hal. 131
[6] Sayyid Husein Nasr, Tasauf Dulu dan sekarang, (Jakarta: Pustaka
Firdaus), hal 87
[7] Media Zainul Bahri, Menembus Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam
Tradisi Sufi, (Jakarta: Prenada Media), 2005, hal. 44.
[8] Sayyid Husein Nasr.,Op.Cit, hal 90
0 komentar:
Posting Komentar