Kisah-kisah
Menurut Ibn Manzur, kisah berasal dari bahasa Arab qashsha, yaqushshu, qishshatan yang berarti potongan, berita yang diikuti dan pelacakan jejak (Ibn Manzur, 1979:3650-3651)
Menurut Ibn Manzur, kisah berasal dari bahasa Arab qashsha, yaqushshu, qishshatan yang berarti potongan, berita yang diikuti dan pelacakan jejak (Ibn Manzur, 1979:3650-3651)
Kisah
dalam ketiga arti ini dipergunakan juga dalam surah; Ali Imran [3:62]; Al-A’raf
[7:7, 176]; Yunus [12:3, 111]; al-Kahfi [18:64]; Taha [20:99]; al-Qashas
[28:11, 25]; an-Naml [27:76]
Bagi
Muhammad Ahmad Khalafallah, kisah adalah suatu karya kesustraan yang merupakan
hasil imajinasi pembuat kisah terhadap peristiwa yang terjadi atas seorang
pelaku yang sebenarnya tidak ada. Atau dari seorang pelaku yang benar-benar
ada, tetapi peristiwa-peristiwa yang berkisah pada dirinya dalam kisah itu
tidak terjadi benar-benar terjadi. Ataupun peristiwa-peristiwa itu terjadi atas
diri pelaku, tetapi dalm kisah itu disusun atas dasar seni yang indah, sebagai
peristiwa di dahulukan dan sebagaian lainya dikemudiankan, sebagaiannya
disebutkan dan sebagiannya lagi dibuang. Atau terhadap peristiwa yang
benar-benar terjadi itu ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau
dilebih-lebihkan penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari
kebenaran yang biasa dan menjadi para pelaku yang imajinatif (Muhammad Ahmad
Khalafallah, 1951:136)
Dalam
al-Quran kisah sering digunakan sebagai media untuk menyampaikan ajaran, bahkan
ada bebrapa surah secara dominan menyajikannya, seperti surah Yusuf [12],
al-Kahfi [18], al-Anbiya [21] dan al-Qashas [28]. Pendeknya, kisah ini bukan
merupakan karya sastra yang bebas baik dalam tema, teknik pemaparan ataupun
setting peristiwa-peristiwanya, sebagaimana terdapat dalam kisah pada umumnya,
melainkan sebagai suatu media al-Quran untuk mencapai tujuan yang mulia.
Tema,
teknik pemaparan dan setting peristiwa, kisah dalam al-Quran senantiasa tunduk
kepada tujuan keagamaan. Namun, ketundukan ini tidak menghalangi munculnya
karakteristik seni dalam pemaparannya (Sayyid Qutb, 1975:11) Dengan
demikian, kisah dalam al-Quran merupakan panduan antara aspek seni dengan aspek
keagamaan.
Kajian
kisah al-Quran melalui pendekatan stilistik yang digagas oleh Syihabuddin
Qalyubi meliputi; Pertama, Teknik Pemaparan Kisah. Kedua,
Penyajian Unsur-unsur Kisah. Ketiga, Pengulangan Kisah. Keempat,
Seni Penggambaran Kisah.
Teknik
pemaparan kisah ini dapat dipilah-pilah; Pertama, Berawal dari
kesimpulan. Untuk yang dimulai kesimpulan, lalu diikuti dengan rincianyya; dari
fragmen pertama hingga fragmen terakhir, seperti termuat dalam surat Yusuf [12]
kisah diawali dengan mimpi dan dipilihnya Yusuf sebagai nabi.
“Dan
demikianlah Tuhanmu memilih kamu (Yusuf untuk menjadi nabi), mengajarimu
sebagian dari ta’bir mimpi-mimpi dan menyempurnakan nikmatnya kepadamu dan
keluarga Yaqub, sebagaimana dia telah menyempurnakan nikmatnya kepada kedua orang
tua kakekmu sebelum itu (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanmu maha
mengetahui dan maha bijaksana. Sesungguhnya ada beberapa tanda kekuasaan Allah
pada kisah Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya” (Q.S
Yusuf:6-7)
Dilanjutkan
dengan fragmen pertama, Yusuf dengan saudara-saudaranya (ayat 8-20); fragmen
kedua, Yusuf di Mesir (ayat 21-33); fragmen ketiga, Yusuf di penjara (ayat
34-35); fragmen keempat, Yusuf mendapat kepercayaan dari raja (ayat 54-57);
fragmen kelima, Yusuf bertemu dengan saudara-saudaranya (ayat 576-93); fragmen
keenam, Yusuf bertemu dengan orang tuanya (ayat 94-101)
Kedua, Berawal
dari ringkasan kisah. Untuk yang dimulai dari ringkasan, lalu diikuti rincianya
dari awal sampai akhir. Kisah yang menggunakan pola ini antara lain
Ashabul-Kahfi dalam surat al-Kahfi [18] yang dimulai dengan ringkasan secara
garis besar.
“(Ingatlah)
tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka
berdoa Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari engkau dan
sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami. Maka kai tutup
telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Kemudian kami bangunkan mereka
agar kami mengetahui manakala di anatara kedua golongan itu yang lebih tepat
dalam menghitung, berapa lama mereka tinggal dalm gua itu” (Q. S
al-Kahfi:10-11)
Itulah
ringkasan kisahnya, lalu diceritakan perinciannya latar belakang mengapa mereka
masuk gua (ayat 14-16); Keadaan mereka di dalam gua (ayat 17-18); Ketika mereka
bangun dari tidur (ayat 19-20); Sikap penduduk kota setelah mengetahui mereka
(ayat 21); Perselisihan penduduk kota tentang jumlah pemuda-pemuda itu
(ayat 22) (Sayyid Qutb, 1975:149)
Ketiga, Berawal
dari adegan klimaks. Untuk yang dimulai dari adegan klimaks, lalu dikisahkan rinciannya
dari awal hingga akhir. Kisah yang menggunakan pola ini antara lain kisah Musa
denga Firaun dalm surah al-Qashas [28] yang berawal dari klimaks kisah
keganasan Firaun.
“Kami
membacakan kepadamu sebagain kisah Musa dan Firaun dengan benar untuk orang-prang
yang beriman. Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi
dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari
mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak
perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang membuat
kerusakan. Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di
bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisi” (Q.S al-Qashas:3-5)
Itulah
adekan klimaknya, lalu dikisahkan secara rinci mulai Musa dilahirkan dan
dibesarkan (ayat 7-13); Ketika Ia dewasa (ayat 14-19); Ia meniggalkan Mesir
(ayat 20-22); Pertemuannya dengan dua anak perempuan (ayat 23-28); Ia mendapat
wahyu untuk menyeru Firaun (ayat 29-32); Pengangkatan Harun sebagai pembantunya
(ayat 33-37); Kesombongan dan keganasan Firaun (ayat 38-42); Musa mendapat
wahyu Taurat (ayat 43)
Kisah
kaum Tsamud dalam surat asy-Syams [91; 11-15] dimulai dengan pendahuluan; “Kaum
Tsamud telah mendusakan (rasulnya), kerena mereka melampaui batas” Lalu
diceritakan nabi Saleh yang menghimbau kaumnya agar tidak mengganggu untanya
(ayat 13); Mereka berdusta dan menyembelih untanya, lalu Allah membinasakan
mereka (ayat 14-15)
Dengan
dipilihnya pola pertama, kedua dan ketiga ini pembaca atau pendengar dapat
mengetahui terlebih dahulu gambaran secara umum tentang suatu kisah dan
mendorong mereka untuk segera mngetahui rinciannya.
Keempat, Tanpa
pendahuluan. Biasanya dimulai dengan pertanyaan, seperti dalam surat al-Fil
[105;1-5] “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak
terhadap tentara bergajah”; Kisah Ibrahim dengan malaikat dalam
suratad-Dzariyat [51;24-30] “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu
Ibrahim (malaikat) yang dimuliakan?”; Kisah nabi Musa dalam an-Naziat
[79;15-26] “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) kisah Musa?” Namun, ada juga
yang tidak dimulai pendahuluan, tetapi secara langsung dari inti materi kisah,
seperti kisah Musa mencari ilmu dalam surat al-Kahfi [18;60-82] “Dan ketika
Musa berkata kepada muridnya Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai
ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.
Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah lautan itu, mereka pula akan
ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalalnnya ke laut”
Kisah
pemilik kebun dalam surat al-Qalam [68;17-33] “Sesungguhnya kami telah
memberikan percobaan kepada mereka sebagaimana kami berikan kepada
pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh akan
memetik (hasilnya) di pagi hari”
Sekalipun
pemaparan kisah-kisah ini tanpa dimulai pendahuluan. Namun, di dalamnya memuat
dialog atau peristiwa yang mengandung minat pembaca atau pendengar untuk
memngetahui kisah itu sampai tuntas. Pada kisah Musa ditampilkan adegan Khidir
melubangi perahu (ayat 71); Khidir membunuh seorang pemuda (ayat 74); Khidir
membetulkan dinding rumah (ayat 77). Pembaca tau pendengar kisah akan terus
bertanya-bertanya mengapa Khidir berbuat demikian. Pertanyaan itu baru terjawab
pada bagian akhir kisah.
Pada
pemilik kebun pembaca atau pendengar ingin segera mengetahui apakah mereka
dapat memetik hasil pertaniannya? Pertanyaan itu baru terjawab pada ayat 26 dan
27 bahwasanya mereka sama sekali tidak dapat memperolehnya.
Kelima, Adanya
keterlibatan imajinasi manusia. Untuk kisah-kisah yang disusun secara garir
besarnya saja, tetapi kelengkapannya diserahkan kepada imajinasi manusia.
Menurut penelitian W. Montgomery Watt dalm bukunya Bell’s Introduction to the
Qur’an, al-Quran disusun dalam ragam bahasa lisan (oral). Dalam memahaminya
hendaklah dipergunaka (tambahan) daya imajinasi yang dapat melengkapi gerakan
yang dikukiskan oleh lafal-lafalnya. Ayat yang mengandung unsur gaya bahasa ini
jika dibaca dengan pertanyaan dramatic action yang tepat niscaya akan dapat
membantu pemahaman. Sebenarnyalah gambaran dramatika yang berkualitas ini
merupakan ciri khas gaya bahasa al-Quran (W. Montgomery Watt, 1970;60)
Misalnya
kisah Ibrahim dan Ismail tatkala membangun Ka’bah yang dituturkan dalam
al-Baqarah [2;127]“wa idz yarfa’u ibrahimul-qawa’ida minal baiti wa isma’ilu
rabbana taqabbal minnainnaka antas-smiu’ul-’alim”. Pada kalimat “wa idz yarfa’u
ibrahimul-qawa’ida minal baiti wa isma’ilu” dalam imajinasi kita tergambar suatu
pentas yang terdiri dari dua tokoh Ibrahim dan Ismail dengan bakground
Baitullah (Ka’bah)
Adegan
dimulai dengan pemasangan batu oleh seorang tukang bernama Ibrahim; dalam
pemasangan batu digunakan campuran yang bagus. Imajinasi ini tergambar dari
kalimat “wa idz yarfa’u ibrahimul qawa’ida minal baiti”; Ismail berperan
sebagai laden tergambar sedang mencari batu, maduk bahan campuran yang dapat
merekatkan batu, lalu memberinya kepada tukang (Ibrahim). Imajinasi ini
tergambar dari peng’athafan lafal Ismail ke lafal Ibrahim yang diantaranya oleh
al-Qawa’ida. Lalu mereka berdoa. Antara susunan kalimat berita dengan doa tidak
digunakan kata penghubung ataupun lafal yad’uwani yang dapat menghubungkan doa
dengan kalimat berita sebelumnya. Hal ini memberikan gambaran adegan semacam
siaran langsung, sehingga penontn dapat menyaksikan adegan-adegan itu secara
hidup.
Keenam,
Penyisipan nasihat keagamaan. Biasanya berupa pengesaan Allah dan keharusan
percaya adanya kebangkitan manusia dari kubur. Misalnya ketika al-Quran
menuturkan kisah nabi Musa dalam surat Taha [20] dari ayat 9-98.
Ditengah-tengah kisah ini, yakni ayat 50-55 disisipkan tentang kekuasaan Allah,
ilmu Allah, kemurahan Allah dan kebangkitan manusia dari kubur. Diakhiri ayat
98) dengan pengesaan Allah.
Demikian
pula kisah nabi Yusuf [12;1-111]. Pada kisah ini disisipkan ajaran beriman
kepada Allah (ayat 37); tidak mempersekutukannya, bersyukur tas nikmat yang
diberikannya (ayat 38); Pahala di akhirat, Allah itu maha penyayang (ayat 64);
Allah akan mengangkat derajat orang-prang yang dikehendakinya dan diakhiri
dengan penjelasan bahwa al-Quran itu sebagai petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman (ayat 111). (Syihabuddin Qalyubi, 1997;67-73)
Dengan
demikian, tema sentral dari ayat-ayat yang memuat kisah-kisah dalam
al-Quran adalah kisah para nabi dan umat terdahulu.
Soal
unsur-unsur kisah pada umumnya ada tiga; Pertama, Tokoh (asykhash).
Kedua, Peristiwa (ahdash). Ketiga, Dialog (hiwar).
Ketiga unsur ini terdapat pada hampir seluruh kisah al-Quran sepertyi lazimnya
kisah-kisah biasa. Hanya saja tampilan ketiga unsur itu tidak sama, terkadang
dalah satu unsur tampil secara menonjol. Unsur-unsur lain hampir menghilang.
Satu-satunya pengecualian adalah kisah bagi Yusuf dalam surat Yusuf [12] karena
ketiga unsur itu tampil secara merata. cara seperti ini tidak didapati pada
lainya, karena kisah al-Quran pada umumnya pendek (uqshushsh) bukan kisah yang
panjang. (A. Hanafi, 1984:53)
Pendistribusian
unsur-unsur kisah pada kisah-kisah al-Quran selaras dengan perkembangan dakwah
islam. Oleh kerena itu terkadang unsur peristiwa yang menonjol jika kisah itu
dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan memberi peringatan seperti al-Qamar
[54;18-32] dan asy-Syams [91;11-15]; terkadang unsur yang menonjol jika kisa
dimaksudkan untuk memberi kukuatan moral dan kemantapan hati nabi Muhammad
beserta pengikutnya seperti al-’Ankabut [29;29-30] dan Hud [11;120]; terkadang
unsur dialog yang menonjol jika kisah itu dimaksudkan untuk mempertahankan
dakwah islam dan membantah para penentangnya seperti al-’Araf [7;73-79] dan
asy-Syu’ara [26;141-159] (Muhammad Ahmad Khalafallah, 1951;292)
Tokoh
(asykhas) kisah dalam al-Quran sangat beragam anatra lain berupa;
manusia, makhluk halus, burung dan serangga. Tokoh manusia ditampilkan dalam
kisah-kisah al-Quran dengan menggunakan lafal al-ins, an-nas, al-insan, basar,
bani, qaum, ashab. Tokoh laki-laki ditampilkan dengan menggunakan lafal rajul,
rijal, dzakar; tokoh wanita ditampilkan dengan menggunakan lafal nisa, unsa dan
imra’ah. Untuk insan bukan semata-mata aspek insaniyyahnya yang ditonjolkan,
tetapi lebih ditekankan pada aspek tanggungjawab dan beban amanat kemanusiaan.
Dari
enam puluh lima kali penyebutanya ada dua kali yang mengandung aspek insiyyah,
yaitu pada ar-Rahman [55;14] dan al-Hijr [15;26]; kontek membaca dan belajar
al-’Alaq [96;1,5]; berusaha an-Najm [53;39]; berdebat al-Kahfi [18;54]; dan
memikul tanggungjawab wasiat Luqman [31;14]; al-’Ankabut [29;8] (A’isyah
Abdurrahman asy-Syathi, 1984;233-234)
Ketokohan
wanita hanya ada Maryam semata yang didorong untuk penolakn terhadap anggapan
Isa itu anak Allah (Isabnullah). Al-Quran bermaksud membatalkan aqidah ini.
Lalu lafal Allah diganti dengan Maryam, sehingga tampil isabnu Masyam
(Muhammad Ahmad Khalafallah, 1951;317-318)
Makluk
halus ini menjelma pada sosok jin dan malaikat. Jin berperan sebagai tentara
Sulaiman dalam an-Naml [27;17,39]; sebagai arsitek dalam Saba [34;12-13] dan
pendengar ayat-ayat al-Quran dalam al-Ahqaf [46;29]. Malaikat berperan sebagai
pasukan cadangan dalam Ali Imran [3;124-125]; pembawa kabar gembira dalam
al-Fushilat [41;30]; ahli ibadah dalam az-Zumar [39;75]; dan sebagai utusan
dalam Fathir [35;1] Ihwal serangga dan burung terekam pada kisah Sulaiman dan
Bilqis dalam an-Naml [17;18]
“Hingga
apabila mereka (tentara Sulaiman) sampai di lembah semut, berkatalah seekor
semut Hai semut-semut masuklah ke dalam serang-sarangmu agar kamu tidak diinjak
oleh Sulaiman dan tentaranya. Sedangkan mereka tidak menyadarinya” “Maka tidak
lama kemudian (datanglah burung-burung hud-hud)lalu berkata Aku telah
mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya dan kubawa kepadamu dari
negeri Sabasuatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita (ratu Balqis) yang memerintah mereka; dia dianugrahi segala sesuatu
serta mempunyai singgsana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah
matahari, selain Allah; syaitan telah menjadikan mereka memandang indah
perbuatan-perbuatan meraka lalu menghalangi mereka dari jala Allah, sehingga
mereka tidak mendapat petunjuk. (Q.S an-Naml [17]; 22-24)
John
Wansbrough mempertanyakan krinologi kisah nabi Syu’aib yang dimuat dalam
al-A’raf [7;85-93]; Hud [11;84-95]; dan as-Syura [26;176-190] Penyebutan
peristiwa dan kronologi dalm ketiha surat ini menurutnya tidak sama. Misalnya
peristiwa pengusuran Syu’aib ke penduduk Madina dalam al-A’raf [7;58]; tidak
disebutkan dalam as-Syura dan subsidi risalah kenabian dalam Hud [11]; tidak
langsung diikuti berita gembira atau ramalan kemusnahan. Padahal dalam dua
surah lainay peristiwa itu dikisahkan secara berurutan. (John Wansbrough,
1997;24-25)
Di
samping itu pengurutan peristiwa dalam kisah-kisah al-Quran disesuaikan dengan
tujuan kisah dan kondisi Nabi tatkala menerima wahyu. Tujuan kisah Luth dalam
surah Hud adalah mengokohkan hati nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, al-Quran
menerangkan kepada beliau penderitaan dan perasaan Luth saat menghadapai
kaumnya. Hal ini selaras dengan bunyi awal surat yang menggabarkan keadaan jiwa
Nabi saw.
Mengenai
dialog kisah-kisah dalam al-Quran sering tampil melalui ragam percakapan ,
hingga lafal-lafal qala, qalu, qalat, qulna, yaqulu dan yaquluna sering sekali
digunakan. Dialog yang ditampilkan itu dapat berupa lintasan pikiran pada diri
seseorang seperti kisah nabi Ibrahim tatkala mencari Tuhan (al-An’am
[6;76-78]); percakapan antara dua orang atau lebih, seperti percakapan antara
Musa dengan Fir’aun (Taha [20;57-69]); percakapan antara Yusuf dengan orang
yang di penjara (Yusuf [12;36-42])
Gaya
bahasa percakapan dalam kisah-kisah al-Quran sesuai dengan; Pertama, Gaya
bahasa percakapan sering tidak mengikuti kejiwaan orang-orang yang melakukan
dialog. Melainkan keadaan jiwa nabi Muhammad dan orang-orang yang sesamanya.
Kedua, Gaya bahasa percakapan pada ayat-ayat diturunkan di Mekah didasarkan atas
getaran suara lafal-lafal yang dibantu paragraf-paragraf pendekatan yang
bersajak, seperti kisah-kisah dalam surat al-Qamar. Pasalnya, perasaan nabi
kala itu kuat dan menggelora, sehingga perpindahan dari satu adegan ke adegan
berikutnya berjalan dengan cepat. Ketiga, Pada kisah-kisah yang dimaksudkan
untuk menjelaskan aqidah baru dan berusaha menghapuskan aqidah lama sering
dimasukkan cemoohan-cemoohan yang sangat pahit dan ditampilkan sebagai unsur
seni yang tersendiri. Ini guna meletakkan kebenaran dihadapkan orang-orang yang
masih sesat agar sadar dari kesetaraannya, seperti kisah Ibrahim dalam surah
Maryam [10] dan as-Syu’ar [28] (Syihabuddin Qalyubi, 1997;73-83)
Berkenaan
dengan pengulangan kisah-kisah terekam pada cerita Adam, Nuh dan Musa. Paling
tidak ada dua aspek yang dirangkum dalam pengulangan ini; Aspek style dan aspek
kejiwaan. Tentunya akan berdampak pada seni penggambaran dan seni pemilihan
lafal yang berbeda.
Bila
diteliti secara mendalam pengulangan ini terjadi pada; Pertama, Pengulangan
alur kisah dengan tokoh yang berbeda. Allah mengutus nabi kepad kaumnya untuk
mengajak mereka mengesakan Tuhan dan beribadah kepadanya. Namu, mereka
membantah dan menentang ajaran itu. lalu turunlah adzab Allah, seperti yang
dimuat dalam surat al-A’raf [7;59-64,65-72 dan 73-79] tentang kisah Nuh dan
shaleh. Kendati alur kisahnya sama, tetapi lafal-lafal yang digunakannya
berbeda. Hingga nuansa yang ditimbulkannya pun berbeda pula. Kedua, Pengulangan
kisah dengan kronologi yang berbeda. Kisah-kisah dalam al-Quran tidak disususn
berdasarkan kronologi kejadian yang sebenarnya. Namun, disusun sesuai dengan
tujuan kisah dan keadaan jiwa nabi bersama orang-orang yang semasanya. Tak
jarang kisah itu dilang-ulang yang tampaknya dengan kronologi yang berlainan. Misalnya
kisah nabi Syu’aib yang diceritakan dalam surat al-A’raf [7;85-93]; surat Hud
[11;84-95]; surat asy-Syu’ara [26;176-190]; dan kisah Luth dalam surat Hud
[11;77-83] dan al-HIjr [15;61-75]. Ketiga, Pengulangan kisah dengan gaya bahasa
yang berbeda. Model ini terlihat dalam kisah nabi Musa yang diceritakan dalam
surat Taha [20;24-98]; asy-Syu’ara [26;10-68] dan al-Qashah [28;1-47] Tampaknya
kisah Musa dalam ketiga surat itu berbeda. Padahal yang berbeda itu hanyalah
gaya bahasanya. (Syihabuddin Qalyubi, 1997;84-87)
Terkait
dengan seni penggambaran adalah cara yang paling menonjol dalam style al-Quran.
Acapkali sering mengutarakan suatu pengertian yang abstrak, suasana kejiwaan,
peristiwa yang terjadi, pemandangan yang dilihat dan contoh tife manusia dengan
suatu gambaran yang dapat dirasakan dan diimajinasikan, kemudian diberikan
kepadanya nuansa kehidupan.
Dengan
demikian, cara penggambaran ini dapat merubah pendengaran yang menjadi penonton
manusia dan tempatnya menjadi panggung perunjukkan, pemandangan nampak
beruut-urut dan gerak tanpak berulang. Pendengar lupa ia sedang mendengarkan
kata-kata yang sedang dibacakan atau perumpamaan yang sedang diuratakan.
(Sayyid Qutb, 1975;34)
Penggambaran
dalam kisah-kisah ini dapat berupa warna, gerakan, peragaan, percakapan, irama,
kalimat dan nada susunan. Ini semua kerjasama untuk menampakkan suatu gambaran
yag dapat dinikmati bersama oleh mata, telinga, pikiran, perasaan dan
imajinasi. (Syihabuddin Qalyubi, 1997;89-91)
1 komentar:
Semoga bermanfaat y,,
jangan lupa cantumin blog ane jga,,
Posting Komentar