Assalamu'alaikum pa kabar temen" semua??
Semoga kabar'a bae" aja y,, amin:-)
Eng ing eNg....
Kembali lagi bersama ane di udara yang agak dingin dan menyejukan ini gan.
Di kesempatan ini ane ingin berbagi kepada agan" semua, seperti motto ane "Saling Belajar, Berbagi dalam Kebersamaan" (promosi dikit,,, ckckckc). karena dengan berbagi maka kehidupan ini akan semakin indah,,, betul ga gan??? (meureun,, ckkkkkk)
langsung aja gan Cekidot;-)
Semoga kabar'a bae" aja y,, amin:-)
Eng ing eNg....
Kembali lagi bersama ane di udara yang agak dingin dan menyejukan ini gan.
Di kesempatan ini ane ingin berbagi kepada agan" semua, seperti motto ane "Saling Belajar, Berbagi dalam Kebersamaan" (promosi dikit,,, ckckckc). karena dengan berbagi maka kehidupan ini akan semakin indah,,, betul ga gan??? (meureun,, ckkkkkk)
langsung aja gan Cekidot;-)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Telah kita ketahui sebelumnya bahwa pelaku filsafat
adalah akal, dan musuh (atau partner)-nya adalah hati dan rasa. Pertentangan
atau kerja sama antara akal dan hati itulah pada dasarnya isi sejarah filsafat.
Memang pusat kendali kehidupan manusia terletak di tiga tempat, yaitu indera,
akal dan hati. Namun, akal dan hati itulah yang paling menentukan.
Pada sejarah filsafat kelihatan akal pernah menang dan
juga pernah kalah; hati pernah berjaya, pernah kalah; pernah juga kedua-duanya
sama-sama menang. Di antara keduanya, dalam sejarah, telah terjadi pergumulan
berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia.
Akal yang dimaksud di sini adalah akal logis yang
bertempat di kepala, sedangkan hati ialah rasa yang kira-kira bertempat di
dalam dada. Akal itulah yang menghasilkan pengetahuan logis yang disebut
filsafat, sedangkan hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang
disebut pengetahuan mistik; iman salah satunya.
Rivalitas antara kedua-duanya telah terjadi di dalam
sejarah peradaban. Pada zaman Yunani Kuno, secara pukul rata akal menang; ini
dihentikan oleh Socrates sehingga akal dan hati sama-sama menang.
B. Tujuan
Tujuan
dari makalah ini adalah untuk
mengetahui ciri umum filsafat Yunani ialah Rasionalisme. Rasionalisme Yunani
Kuno itu mencapai puncaknya pada orang-orang sofis. Untuk melihat rasionalisme
sofis perlu dipahami lebih dulu latar belakangnya. Latar belakangnya itu
terletak pada pemikiran filsafat yang ada sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akal dan Hati pada Zaman Yunani
Kuno
1. Anaximander
Anaximander mencoba
menjelaskan bahwa substansi pertama bersifat kekal dan ada dengan sendirinya
(Mayer, 1950: 19). Anaximenes mengatakan itu udara. Udara merupakan sumber
segala kehidupan, demikian alasannya. Pembicaraan ini telah memperlihatkan
bahwa di dalam filsafat terdapat lebih dari satu kebenaran tentang satu
persoalan. Sebabnya ialah bukti kebenaran teori dalam filsafat terletak pada logis atau tidaknya argumen yang
digunakan, bukan terletak pada kongklusi di sini sudah kelihatan bibit
ralativisme yang kelak dikembangkan dalam filsafat sofisme.
2. Thales
Thales (624-546 SM) yang berasal dari Miletus
itu dijuluki Bapak Filsafat karena ialah orang yang mula-mula berfilsafat.
Gelar itu diberikan karena ia mengajukan pertanyaaan yang amat mendasar, yang
jarang diperhatikan orang, juga orang pada zaman sekarang: What is the
nature of the world stuff? (Mayer, 1950: 18), apa sebenarnya bahan alam
semesta ini? Tak pelak lagi pertanyaan ini amat mendasar. Terlepas dari apa pun
jawabannya, pertanyaan ini saja telah dapat mengangkat namanya menjadi filosof
pertama. Adapun jawaban ia sendiri yaitu air. Jawaban ini sebenarnya
amat sederhana dan belum tuntas. Belum tuntas karena belum diketahui dari apa
air itu? Thales mengambil air sebagai asal alam semesta barangkali karena ia
melihatnya sebagai sesuatu yang amat diperlukan dalam kehidupan dan menurut
pendapatnya bumi ini terapung di atas air (Mayer, 1950: 18)
Lihatlah,
jawaban yang ia berikan amat sederhana; justru pertanyaannya jauh lebih
berbobot daripada jawabannya. Masih
adakah orang yang beranggapan bahwa bertanya itu tidak penting? Thales menjadi
filosof karena ia bertanya, dan pertanyaannya itu ia jawab dengan menggunakan
akal, bukan dengan menggunakan agama atau kepercayaan lainnya. Di sini akal
mulai digunakan lepas dari keyakinan.
3. Anaximander
Dikatakan
oleh Russel (1979:46) bahwa the sechond philosopher of Milesian school, is much
more interesting than Thales. His dates are uncertain (filosof kedua, maksudnya
adalah Anaksimander dari aliran Milesian yang dianggap lebih penting dibanding
dengan Thales, hari kelahirannya tidak diketahui dengan jelas). Akan tetapi,
sebagian filosof mengatakan bahwa sixty four years old in 546 BC (enam puluh
empat tahu sebelum kematian Thales, pada tahun 546 SM). He held that all things
come from a single primal subtance, but that it is not water, as Thales held,
or any other of the subtances that we know. It is infinite, eternal, and
edgeless, and encompasses all the worlds. Dia menyatakan bahwa segala sesuatu
berasala dari sebuah substansi prima yang tunggal; namun yang jelas bukan air
seperti dinyatakan oleh Thales atau substansi apapun yang lain seperti yang
selama ini kita ketahui. Substansi itu tidak terbatas, abadi, selalu hidup, dan
ia meliputi seluruh dunia.
Pada
bagian lain Anaximander mengatakan bahwa the primal substance is transformed
into the various subtances with which we are familiar, and these are
transformed into each other. Menurutnya substansi prima itu dapat berubah
kedalam berbagai substansi yang dengannya kita dapat saling bersaudara, bahkan
substansi itu telah berubah menjadi berbagai hal.
Anaximander
juga mengatakan bahwa substansi
prima yang tunggal dapat mengalahkan
substansui yang lainnya. (would conquer the others). Substansi itu pada mulanya
disebut arge atau permulaan. Pada bagian lain lagi, ia menyataka bahwa
substansi itu bernama apeiron (Harahap, 1978: 30). Substansi prima itu
tunggal, selalu bersifat tidak memihak (neutral) terhadap perselisihan yang
terjadi di dunia (in this cosmic strife), selalu bergerak, tiada terbatas
menurut waktu dan ruang (Russel, 1979: 46; Harahap, 1978: 30). Terhadap
pemikiran Anaximander ini, Russel menyatakan bahwa ia merupakan manusia yang
benar-benar ilmuwan dan rasionalis murni (the original scientific and rasionalistic).
Anaximander
merupakan murid Thales. Ia yang menyatakan bahwa asas pemula kehidupan sesuatu,
yaitu yang tak terhingga atau apeiron. Apeiron adalah suatu zat yang sifat-sifatnya
tidak dimilki oleh zat lain yang selama
ini dikenal oleh manusia.
4. Pythagoras
Pythagoras adalah seorang penemu ilmu
kemasyarakatan (a society of disciples). Ia lahir menjadi seorang figur mitos
(a mythical figure), ia dibanggakan masyarakatnya karena mempunyai beberapa
mukjizat (miracles) dan kekuatan magis (magic power). Pythagoras lahir di
Samos. Sebenarnya, pythagoras tidak menulis apapun, karena ajaran-ajarannya
disampaikan secara verbal. Oleh sebab itu, secara teoritis menemukan kembali
jalan pikiran Pythagoras merupakan suatu kesulitan yang sangat besar. Apalagi,
ajaran-ajaran pythagoras sangat dirahasiakan oleh para muridnya karena
pemerintah pada waktu itu memerintah secara sewenang-wenangsehingga ia
mengasingkan diri, lalu mendirikan semacam persekutuan keagamaan di Croton,
Italia Selatan. Namun belakangan para ahli menemukan ajarannya, yaitu tentang
jiwa. Baginya, jiwa adalah suatu substansi yang tidak bersifat jasmani, tetapi
bersifat abadi. Jiwa memperoleh hukuman dengan diasingkan masuk ke dalam raga
manusia. Jiwa dapat terbebas dari raga manusia dengan cara mengadaka pemurnian
atau katarsis sehingga ketika manusia meninggal dunia, jiwanya dapat ditampung
di dalam kebahagiaan yang sempurna. Namun, ketika aktivis pemurnian itu kurang
mencukupi, pada saat kematiannya jiwa akan menempati raga
lain. Adapun pemikirannya tantang asas pemula kehidupan, para muridnya
menganggap adaah bilangan, terutama bilangan satuan. Bilangan merupakan suatu
keseluruhan yang teratur dalam suatu kosmos. Dengan mengetahui pppengetahuan
bilangan, seseorang dapat mengetahui suatu relitas. Pengetahuan mengenai
bilangan merupakan bagian tak terpisahkan dari usaha pemurnian jiwa ini, oleh
sebagian ahli dianggap bersifat tasawuf (Harahap, 1978: 55).
Tampaknya, dengan pemikirannya ini Pythagoras juga ingin
menyatakan bahwa jiwa dapat mengalami reinkarnasi seperti yang diajarkan oleh
agama budha. Reinkarnasi itu tidak akan terjadi kalau jiwanya belum mengalami
pemurnian. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Pythagoras mengonsepkan jiwa bersifat
baqa (immortal). Dengan konsepnya ini, Pythagoras lalu mencoba memantau
konsep bahwa hidup ini tidak cukup hanya dengan memikir atau merenung saja,
atau hidup ini tidak cukup dengan hanya berprilaku saja, tetapi hidup haruslah
menyatukan antara pemikiran, perenungan, dan tindakan. Dari sini Pythagoras
menyatakan bahwa dirinya merasa terdorong untuk mengabdi pada ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, menurut dugaannya, dialah orang yang pertama-tama pantas
disebut sebagai filosof (harahap: 1978: 47-56)
B.
Akal dan Hati pada Zaman Yunani
Klasik
1.
Heraclitus
Paham relativisme semakin
mempunyai dasar setelah Heraclitus (544-484 SM) menyatakan, “ You can not
step twice into the same river; for the fresh water are ever flowing upon you”.
(Engkau tidak dapat terjun ke sungai yang sama dua kali karena air sungai
itu selalu mengalir) (Warner, 1961: 26).
Ia berpendapat bahwa alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah;
sesuatu yang dingin berubah menjadi panas, yang panas berubah menjadi dingin.
Itu berarti kita hendak memahami kehidupan kosmos, kita mesti menyadari bahwa
kosmos itu dinamis, selalu bergerak dan berubah. Itulah sebabnya ia sampai pada
kongklusi bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini bukanlah bahan (stuff)-nya
seperti yang dipertanyakan oleh Thales, akan tetapi prosesnya (Warner, 1961:
28).
2.
Parmanides
Parmanides adalah salah seorang tokoh relativisme yang penting, kalau
bukan yang terpenting. Ia lahir sekitar tahun 450 SM yang dikatakan sebagai
logikawan pertama dalam sejarah filsafat, bahkan dapat disebut filosof pertama
dalam pengertian modern. Sistemnya secara keseluruhan disandarkan pada deduksi
logis, tidak seperti Heraclitus, yang menggunakan metode intuisi.
Dalam the way of the truth Parmanides
bertanya: Apa standar kebenaran dan apa ukuran realitas? Bagaimana hal itu
dapat dipahami? Ia menjawab: ukurannya ialah logika yang konsisten.
Benar-tidaknya suatu pendapat
diukur dengan logika. Di sinilah muncul sebuah masalah. Bentuk ekstrim
pernyataan itu ialah bahwa ukuran kebenaran adalah akal manusia; ukuran
kebenaran ialah manusia.
3.
Sofisme
4.
Socrates
Ajaran Socrates bangkit ketika adanya anggapan bahwa semua
kebenaran itu bersifat relatif dan telah menggoyahkan teori-teori sains yang
telah mapan serta mengguncangkan keyakinan agama sehingga ini semua menyebabkan
kebingungan dan kekacauan dalam kehidupan. Ia harus meyakinkan orang Athena
bahwa tidak semua kebenaran itu bersifat relatif; ada kebenaran yang umum yang
dapat dipegang oleh semua orang. Sebagian dari kebenaran itu memang relatif,
tetapi hanya sebagian saja. Sayangnya, Socrates tidak meninggalkan tulisan.
Ajarannya hanya dapat diketahui dari salah satu
muridnya, yaitu Plato. Kehidupan Socrates (470-399 SM) berada di
tengah-tengah keruntuhan imperium Athena. Tahun terakhir hidupnya sempat
menyaksikan keruntuhan Athena oleh kehancuran orang-orang oligarki dan
orang-orang demokratis.
Pemuda-pemuda Athena pada masa itu dipimpin oleh diktrin
relativisme dari kaum sofis, sedangkan Socrates adalah seorang penganut moral
yang absolut dan meyakini bahwa menegakkan moral merupakan tugas filosof, yang
berdasarkan idea-idea rasional dan keahlian dalam pengetahuan.
5.
Plato
Plato adalah salah seorang murid dari Socrates yang
memperkuat pendapat gurunya itu. Ia berpendapat bahwa kebenaran umum itu bukan
dibuat dengan cara dialog yang induktif seperti pada Socrates; pengertian umum
itu sudah tersedia di “sana” di alam idea. Definisi pada Socrates dapat saja
diartikan tidak memiliki realitas.
Plato juga menjelaskan bahwa kebenaran umum itu memang ada,
bukan dibuat, melainkan sudah ada di alam idea. Plato memperkuat Socrates dalam
menghadapi kaum sofis.
Plato dengan ajaran idea yang lepas dari objek, yang berada
di alam idea, bukan hasil abstraksi seperti pada Socrates, jelas memperkuat
posisi Socrates dalam menghadapi sofisme. Idea itu umum, berarti ia pun berlaku
umum. Sama dengan gurunya itu, Plato juga berpendapat bahwa selain dari
kebenaran yang umum itu ada juga kebenaran yang khusus, yaitu “kongkretisasi”
idea di alam ini. Contoh, “kucing” di alam idea berlaku umum, kebenaran umum;
“kucing hitam dirumah saya” adalah kucing yang khusus.
6.
Aristoteles
Aristoteles merupakan murid, teman serta guru Plato. Ia
adalah orang yang mendapat pendidikan yang baik sebelum menjadi filosof.
Keluarganya adalah orang-orang yang tertarik pada ilmu kedokteran. Sifat pikir
saintifik ini besar pengaruhnya pada Aristoteles. Oleh karena itu, kita
menyaksikan filsafatnya itu berbeda warnanya dengan filsafat Plato: sistematis,
amat dipengaruhi oleh metode empiris.
Ia lahir pada tahun 384 SM di Stagira, sebuah kota di
Thrace. Ayahnya meninggal ketika ia berusia belia. Ia pun diasuh oleh Proxenus
yang telah memberikan pendidikan yang istimewa kepadanya. Tatkala Aristoteles
berusia 18 tahun, ia dikirim ke Athena dan dimasukkan ke Akademia Plato. Waktu
itu memang merupakan kebiasaan orang mengirimkan anaknya ke tempat yang jauh yang
merupakan pusat-pusat perkembangan intelektual. Di sanalah ia belajar, tentunya
pada Plato.
Pada suatu saat ia berhasil mengarang sebuah buku tentang
logika yang berjudul Organon yang berisi tentang categories. On
interpretation, membahas berbagai tipe proposisi, serta masih banyak lagi
buku yang lainnya. Bukunya yang penting bagi persoalan manusia yaitu On
Sophistical Refutations, yang membuktikan kepalsuan logika orang sofis.
Pada dunia filsafat, Aristoteles terkenal sebagai Bapak
Logika. Logikanya disebut logika tradisional karena nantinya berkembang apa
yang disebut logika modern. Logika Aristoteles itu sering juga disebut logika
formal.
Menurut Aristoteles, Tuhan berhubungan dengan dirinya
sendiri. Ia tidak berhubungan dengan alam ini. Ia tidak memperhatikan doa dan
keinginan manusia. Dalam mencintai Tuhan, kita tidak usah mengharap Ia mencintai
kita. Ia adalah kesempurnaan tertinggi dan kita mencontoh ke sana untuk
perbuatan dan pikiran-pikiran kita (Mayer: 159).
Pada Aristoteles kita mengetahui bahwa pemikiran filsafat
lebih maju, dasar-dasar sains pun diletakkan. Tuhan dicapai dengan akal, tetapi
ia percaya pada Tuhan. Jasanya dalam menolong Plato dan Socrates memerangi
orang sofis ialah karena bukunya yang menjelaskan palsunya logika yang
digunakan oleh tokoh-tokoh sofisme.
Sampai di sini dapat ketahui antara akal dan hati (iman).
Kemenangan sementara berada pada kedua belah pihak: akal dan hati kedua-duanya
menang. Kuasa akal mulai dibatasi; ada kebenaran yang umum, jadi tidak semua
kebenaran relatif. Sains dapat dipegang sebagian dan ada yang diperselisihkan
sebagian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Apa yang pernah dikatakan sebelum ini bahwa filsafat dan
agama adalah dua kekuatan yang mewarnai dunia, mulai kelihatan kebenarannya
pada zaman Yunani itu. Filsafat pada dasarnya adalah akal, agama pada pokoknya
adalah iman (hati, rasa). Oleh karena itu, wajarlah bila perkembangan budaya
selalu dilatarbelakangi oleh pergulatan antara akal dan hati, antara rasio dan
iman, antara filsafat dan agama.
Pada zaman sofis keadaan banyak
berubah. Pada zaman ini, akal dapat dikatakan menang mutlak. Manusia adalah
ukuran kebenaran, juga semua kebenaran relatif, yang merupakan ciri
filsafat sofisme, jelas merupakan pertanda bahwa kal sudah menang mutlak
terhadap iman. Lalu apa akibatnya? Kekacauan, yaitu kekacauan kebenaran. Akibat
selanjutnya ialah semua teori sains diragukan, semua akidah dan kaidah agama
dicurigai. Ini sudah cukup untuk dijadikan bukti bahwa manusia pada zaman itu
telah hidup tanpa pegangan dan ini amat berbahaya.
Kurang lebih 300 tahun kemudian
hegemoni terganggu. Sejak meninggalnya Socrates, filsafat semakin lama semakin
merosot dominasinya. Tepat pada ujung zaman helenisme, yaitu pada ujung tarikh
sebelum Masehi, menjelang neo-Platonisme, filsafat benar-benar kehabisan bahann
bakar; ia kkalah. Selanjutnya pemikiran memasuki zaman Abad Pertengahan. Di
sini agama dapat dikatakan menang mutlak dan akal kalah total.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Umum. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
http://amarfasyni.blogspot.com/2013/02/filsafat-ilmu-pengetahuan-filsafat.html
http://amarfasyni.blogspot.com/2013/02/filsafat-ilmu-pengetahuan-filsafat.html
0 komentar:
Posting Komentar